"Tidak ada rambu-rambu yang menyatakan banyak anak tuna rungu di sini, ini kan bahaya," kata Ketua Yayasan Santi Rama, Lani Halim, kepada detikcom di kantornya, Rabu (18/12/2013).
Lani menuturkan bahwa siswa-siswa mengalami kesulitan ketika keluar dari sekolah atau ketika ingin menyeberang jalan. Mereka tidak bisa mendengar suara kendaraan yg akan lewat, maupun memperkirakan kecepatannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan pantauan detikcom, meskipun gedung Sekolah Santi Rama terletak di pinggir jalan besar, tidak ada rambu-rambu atau papan penunjuk yang menegaskan jika banyak siswa tuna rungu yang keluar dari sekolah ini. Wajar saja bila para pengendara tidak tahu bahwa gedung yang terletak di seberang pusat perbelanjaan Golden
Fatmawati ini merupakan sekolah khusus bagi mereka yang tidak bisa mendengar.
Jalan di depan sekolah yang terdiri dari SD, SMP, dan SMA ini juga tidak dilengkapi zebra cross. Padahal setiap harinya, lebih dari 200 siswa Sekolah Santi Rama menunggu kendaraan umum atau menyeberang di depan sekolah.
"Akhirnya kita pakai sistem piket untuk menyeberangkan anak-anak," ujar wanita berusia 65 tahun ini.
Lani berharap ada inisiatif dari pemerintah provinsi terkait masalah ini. Ia tak ingin terjadi kecelakaan akibat absennya rambu-rambu di jalan raya terkait keberadaan siswa-siswa tuna rungu ini.
"Jangan hanya karena prinsip kasihan, tapi mereka (penyandang disabilitas) juga harus mendapatkan haknya," tutup Lani.
(gah/gah)