Padahal, menurut mantan aktivis Fadjroel Rahman sistem pemerintahan yang otoriter perlu diisi orang baik seperti Gie. Tapi, Gie terlanjur memiliki pandangan sinis terhadap politik.
"Di sisi ini saya ingin mengkritik. Saya beda pandangan soal politik dengan Gie. Politik itu tidak kotor. Yang kotor adalah orang-orangnya. Tapi, Gie saat itu lebih memilih di luar sistem dengan kritikan tulisannya," kata Fadjroel kepada detikcom, Ahad (15/12) kemarin.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fadjroel mengaku banyak mendapat inspirasi dari tulisan Soe Hok Gie yang kemudian dibukukan dengan judul Catatan Harian Seorang Demonstran. Saat kuliah di Institut Teknologi Bandung buku tersebut bahkan dibawa oleh Fadjroel.

"Kalau pakai istilah musik, dia (Soe Hok Gie) itu the legend Indonesia. Enggak ada aktivis satu pun di Indonesia yang tidak kenal dia," kata Fadjroel.
Menurut dia bentuk perjuangan kritis Gie yang perlu ditiru mahasiwa muda adalah tidak hanya turun di jalan, tapi aktivis itu bisa menuangkan pikiran sebagai intelektual muda. Kemampuan Gie menulis kritikan terhadap orde lama di beberapa media massa membuktikan pria keturunan Tiong Hoa itu punya sisi intektual.
Selain itu, Gie juga memiliki kelompok studi yang selalu membahas soal sistem pemerintahan. Seperti kemampuan membentuk manusia pecinta alam (Mapala) di kampusnya. Hal ini yang diharapkan bisa dicontoh mahasiswa zaman sekarang.
"Dia punya trisula kemampuan, intelektualisme, advokasi, dan gerakan massa. Dia punya tiga unsur ini. Di titik ini, Gie sangat berjasa untuk gerakan mahasiswa nantinya. Jangan kaya mahasiswa demo di depan KPK. Itu ngapain, cape ngelihatnya juga," kata Fadjroel.
Hal lain yang perlu dikagumi dari Gie adalah rasa nasionalismenya. Sebagai aktivis muda keturunan Tiong Hoa, ia berani kritis meski saat itu masih menjadi minoritas dalam kekuasaan politik. Ia belum tertarik masuk ke sistem politik dan tetap ingin ada di luar dengan kritikannya.
Keteguhan prinsip ditunjukkan Gie yang mau mengubah nama seperti kakaknya, dari Soe Hok Djin menjadi Arif Budiman. "Namanya tetap Sok Hok Gie dan tidak mau diubah. Namanya ini tidak mengubah pandangannya terhadap kesetiaan terhadap Indonesia," papar Fadjroel.
Namun, satu hal yang perlu dikritik dari Gie adalah ketidak inginan pria kelahiran 17 Desember 1942 itu untuk masuk ke sistem politik. Karena menurut Gie, politik adalah kotor seperti lumpur.
Adapun mantan aktivis 1998 Budiman Sudjatmiko menyebut, bahwa sikap Gie yang memilih di luar sistem saat Orde Baru adalah wajar. Ia menilai Gie kecewa ketika sistem yang diperjuangkan dan diharapkan lebih demokratis malah berubah menjadi pemerintahan otoriter.
Hal ini tidak disangka olehnya ketika masih masa transisi perpindahan kepemimpinan dari Sukarno ke Soeharto.
"Dia ada di situasi politik yang keliru. Di Orde lama dia berjuang melakukan demi perubahan suatu Indonesia baru yang demokratif. Tapi, yang lahir adalah sistem pemerintahan otoriter, monster dan dia mengalami kekecewaan," kata Budiman.
Meski demikian, Budiman menganggap sosok Gie adalah aktivis di zamannya yang punya idealisme, kritikan terhadap sistem yang salah, visi ke depan serta romantisme dalam bersosialisasi.
Cara ini yang bisa memberikan sisi positif terhadap mahasiswa muda bila ingin turun ke lapangan. "Ini yang saya kita positifnya yang bisa saya ambil dan aktivis zaman berikutnya," kata pria kelahiran Cilacap, 10 Maret 1970 ini.
(erd/erd)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini