PPATK : Aparat Pemerintah Daerah Lebih Korup Daripada Pusat

Tren Korupsi Menjelang Pemilu 2014

PPATK : Aparat Pemerintah Daerah Lebih Korup Daripada Pusat

- detikNews
Senin, 09 Des 2013 15:28 WIB
Foto-detikcom
Jakarta - Seorang calon legislatif yang membiayai ongkos kampanyenya dengan uang hasil korupsi cenderung akan berperilaku korup seterusnya. Hasil riset yang dilakukan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan menunjukkan, ada kecenderungan caleg yang terlapor memiliki rekening mencurigakan, akan terus menjadi terlapor setelah dia menjabat.

Kebiasaan itu khususnya terjadi untuk caleg di Dewan Perwakilan Rakyat. Sementara calon kepala daerah berbeda pola perilaku korupsinya. Kalau awalnya sebagai terlapor, maka setelah menjabat sebagai kepala daerah statusnya tidak lagi menjadi pejabat dengan rekening mencurigakan.

Pejabat di daerah biasanya menggunakan aparat di bawahnya seperti sekretaris, staf, atau, ajudan dalam melalukan proses transaksi korupsi. “Pola ini yang mengindikasikan adanya proses mafia birokrasi,” kata Wakil Ketua PPATK Agus Santosa melalui sambungan telepon, Jumat (6/12) pekan lalu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT





Mafia birokrasi berjamaah ini membuat rentan kecenderungan perilaku korup aparat pemerintah daerah. Menurut Agus, perilaku korup aparat pemerintah daerah sebesar 1,6 kali lebih besar. Angka ini lebih tinggi dibandingkan aparatur pegawai negeri pemerintah pusat yang angkanya 1,1 kali.

PPATK memiliki penilaian khusus dalam melakukan pengawasan setiap transaksi mencurigakan. Misalnya hanya sekadar contoh transaksi dengan mata uang asing. Sementara terlapor dan keluarganya adalah warga negara Indonesia. Begitupun transaksi yang terlalu sering dalam jumlah besar ke setiap orang berbeda, seperti kasus tersangka korupsi dan pencucian uang Ahmad Fathanah ke sejumlah teman dekat wanitanya.

Untuk detailnya, Agus tidak bisa mengatakan karena menyangkut rahasia negara. “Kami (PPATK) membuat analisis atas temuan transaksi yang diduga tindak pidana pencucian uang yang kemudian menyampaikan laporan hasil analisis ke penegak hukum seperti KPK,” kata Agus.

Direktur Program Transparency Internasional Indonesia Ibrahim Fahmi Badoh mengatakan perlu pengawasan yang ketat soal anggaran dan proyek pemerintah pusat, khususnya menjelang Pemilu 2014. Seharusnya PPATK dan Komisi Pemilihan Umum memiliki kewenangan lebih untuk melakukan pencegahan korupsi.

Selama ini peran KPU sebagai penyelenggara Pemilu masih sangat terbatas. Untuk memberikan kewenangan lebih memang tidak mudah karena ada kepentingan elite yang menghambat. “Harusnya KPU bisa seperti itu. Kalau bisa diberikan wewenang untuk pencegahan dan penindakan,” kata pria yang akrab disapa Bram ini kepada detikcom.

Menurut dia, sejauh ini perbankan dipergunakan sebagai jalur transaksi tanpa ada pengawasan yang ketat. Meski belum terbukti, peristiwa pembobolan Bank Century dan macetnya bank BNI 46 setahun jelang Pemilu menjadi contoh. Usulan PPATK terkait pembatasan transaksi tunai Rp 100 juta perlu dipercepat dan dilakukan.

“Sambil menunggu regulasi pembatasan ini, makanya KPU mewajibkan dana laporan kampanye dan rekening setiap parpol juga caleg,” kata Bram.

Sekretaris Jenderal TII Dadang Triasongko menegaskan angka korupsi Indonesia sejauh ini masih merah. Pengawasan dan penindakan korupsi di parpol masih belum maksimal karena parpol masih bersifat leluasa memainkan peranannya.


Kekurangan ini yang menjadi salah satu angka korupsi Indonesia cenderung stagnan. Hal ini harus meenjadi prioritas untuk dibenahi. Ia mencontohkan sulitnya parpol besar ketika diminta transparan memaparkan laporan keuangannya.

(erd/erd)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads