Jelang Pemilu, Anggaran Negara Rawan Jadi 'Bancakan' Elite Partai

Tren Korupsi Menjelang Pemilu 2014

Jelang Pemilu, Anggaran Negara Rawan Jadi 'Bancakan' Elite Partai

- detikNews
Senin, 09 Des 2013 11:27 WIB
Peringatan Hari Antikorupsi tahun 2011. (foto-detikcom)
Jakarta - Pemilihan Umum 2014 tinggal hitungan bulan. Sejumlah pihak mengingatkan adanya potensi peningkatan tindak pidana korupsi, khususnya yang dilakukan oleh kalangan politisi. Transparency Internasional Indonesia (TII) menyebut, dari pengalaman sebelumnya potensi terjadinya korupsi menjelang Pemilu sangat besar.

Kali ini korupsi menggunakan modus yang saling terkoordinasi. Anggaran dan proyek dari pemerintahan pun bisa jadi “mainan” para elite partai. Pemicunya menurut Direktur Program TII Ibrahim Fahmi Badoh, adalah kecenderungan perputaran uang menjelang pemilu yang sangat besar.

Menjelang pemilu para elite partai dan politisi akan mencari dana untuk biaya kampanye. Salah satu peluanganya adalah dengan menggangsir uang negara.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut pria yang akrab disapa Bram ini, lemahnya pengawasan membuat anggaran dari pusat yang sebenarnya untuk pembiayaan pelayanan publik diselewengkan. Apalagi saat ini belum ada master plan yang sistematik ke daerah, sehingga menimbulkan calo anggaran yang kerap bermain mencari keuntungan.





“Skala kebutuhannya ini sangat besar karena kebutuhan kampanye memang sangat tinggi,” kata Bram saat ditemui detikcom, Jumat (6/12) pekan lalu.

Hal yang sama dikatakan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto. Menurut dia meningkatnya korupsi menjelang pemilu karena peserta umumnya mencari biaya politik sebanyak-banyaknya. Ongkos polik yang masih sangat tinggi di Indonesia, dituding Bambang sebagai salah satu faktor penyebab teori tersebut.

KPK menurut Bambang memiliki data dan kajian tentang siklus korupsi lima tahunan. Dia mencontohkan kasus 'perampokan' tiga bank besar yang terjadi menjelang pemilu. Yakni, penyelewengan dana bantuan likuiditas Bank Indonesia senilai Rp 144,5 triliun tahun 1998, atau menjelang pemilu 1999. Menjelang pemilu 2004 ada kasus pembobolan Bank BNI cabang Kebayoran Baru senilai Rp 1,7 triliun.

Pada tahun 2008 atau menjelang pemilu 2009 terjadi pembobolan dana talangan Bank Century senilai Rp 6,7 triliun. “Jadi ini warning dan sekaligus pertanyaan juga, siklus ini masih jalan enggak,” kata Bambang kepada detikcom, Jumat (6/12) pekan lalu.

Wakil Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Agus Santosa menguatkan pernyataan Bambang dan Bram. Berdasarkan hasil riset PPATK, dua tahun menjelang Pemilu atau Pilkada terjadi peningkatan pelaporan hingga 125 persen.

Artinya, memang ada kecenderungan praktik transaksi tunai yang mencurigakan dengan angka tinggi mendekati pemilu. Tahun ini atau menjelang pemilu 2014, PPATK juga sudah mendapat laporan adanya dugaan transaksi mencurigakan.

“Dekat Pemilu ini ya begitu sudah ada transaksinya (mencurigakan),” ujar Agus saat diihubungi detikcom.

Menurut Agus ada kecenderungan bahwa calon legislator yang terlapor menunjukkan akan terus menjadi terlapor setelah yang bersangkutan resmi menjabat. Adapun calon kepala daerah berbeda pola perilaku korupsinya. Kalau awalnya sebagai terlapor, maka setelah menjabat sebagai kepala daerah statusnya tidak lagi menjadi terlapor.

Hal ini disebabkan yag bersangkutan menggunakan aparat di bawahnya seperti sekretaris, staf, atau, ajudan dalam melalukan proses transaksi. “Pola ini yang mengindikasikan adanya proses mafia birokrasi,” ujarnya.


(erd/erd)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads