"Melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum (Onslag Van Alle Rechtvervolging)," putus majelis hakim PN Bengkulu yang terdiri dari Sulthoni, Rendra Yozar dan Syamsul Arief, Kamis (4/12/2013).
Drama hukum Kalimin dimulai saat dia membeli lahan seluas 7,500 m2 kepada penduduk di kawasan Danau Dusun Besar Bengkulu pada 2004. Bersama petani lain, Kalimin lalu menanami lahan itu dengan kelapa sawit.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Siapa nyana, di saat yang sama Kalimin dilaporkan polisi hutan ke Polda Bengkulu dengan tuduhan penyerobotan hutan dan melanggar UU Kehutanan. Karena sudah merasa renta dan tidak mau capai berurusan dengan hukum, Kalimin pun ikhlas mengembalikan tanah tersebut ke negara pada 24 Juli 2013. Kesukarelaan Kalimin lalu diganjar dengan piagam penghargaan dan terimakasih dari Kementerian Kehutanan pada tanggal 31 Juli 2012.
Namun bak betir di siang bolong, Kalimin terkaget-kaget karena kasusnya masih berjalan. Pada 18 September 2013 Kalimin diseret ke pengadilan atas tuduhan pasal 50 Ayat 3 huruf a atau huruf b dan pasal 78 ayat 2 UU Kehutanan dengan ancaman 10 tahun penjara.
Setelah dua bulan disidang, keadilan berbicara. PN Bengkulu menyatakan secara substantif tindakan Kalimin mengembalikan lahan yang digarapnya kepada negara yang dibalas dengan piagam penghargaan adalah fakta yang menghapus sifat pidana Kalimin. Sifat pidana yang hapus itu adalah menduduki kawasan hutan secara tidak sah.
"Sehingga majelis hakim menilai terhadap unsur ini telah terbukti akan tetapi bukan merupakan pidana oleh karena sifat pidana dalam perkara ini telah hapus atau telah tiada," ucap majelis yang disambut dengan sujud syukur Kalimin.
PN Bengkulu mengkritik pihak BKSDA Bengkulu dan Polda Bengkulu karena tetap meneruskan perkara padahal telah diselesaikan secara sukarela. Apa yang dilakukan Kalimin seharusnya menjadi faktor diskresi bagi penyidik untuk tidak meneruskan suatu perkara ini sedari awal.
"Tindakan BKSDA itu sungguh tidak bijaksana," putus majelis yang dibacakan secara bergantian.
(asp/nrl)