"Sistem pemilu di 2009, dibanding 2004, ada peruibahan signifikan. Yang pertama ada peningkatan biaya luar biasa dari pemilu sebelumnya," kata Pramono.
Hal itu disampaikannya dalam acara peluncuran buku yang juga disertasi berjudul Mahalnya Demokrasi Memudarnya Ideologi di press room Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (3/12/2013). Disertasi itu dibuat berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa anggota DPR periode 2009-2014.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dampaknya, sebagai hasil Pemilu 2009, banyak pengusaha dibanding aktivis atau politisi yang jadi anggota DPR. Sebab, para pengusaha itu memiliki modal lebih besar dibanding para aktivis.
Pramono Anung mengelompokkan empat golongan berdasarkan besarnya biaya kampanye yang dikeluarkan seorang caleg. Yaitu caleg public figure yang ongkos politiknya di kisaran Rp 300-800 juta, aktivis yang modalnya di kisaran Rp 1 miliar, pensiunan TNI/Polri Rp 1-1,2 miliar, dan pengusaha Rp 1,5-6 miliar.
Di luar itu, Pramono menemukan ada pengusaha yang mengeluarkan uang hingga Rp 22 miliar untuk meraih kursi di Senayan.
"Ada juga konsultan yang mengatakan ada anggota DPR yang menyewa konsultan saja sudah keluar Rp 18 miliar," tuturnya.
Mahalnya biaya demokrasi ini disebut Pram berdampak pada terjadinya pragmatisme politik. Politik hanya digunakan untuk meraih kekuasaan dan materi.
"Ini terjadi siklus, money power, more money more power. Pragmatisme menjadi hal luar biasa," ujarnya.
(trq/van)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini