"Dahulu, MPR sebagai lembaga tertinggi negara punya fungsi penting menentukan norma paling dasar yang mempengaruhi kebijakan negara bernama GBHN. Ketika MPR menjadi lembaga biasa, di situlah kekacauan terjadi," kata pengamat politik Yudhi Latif di Gedung MPR, Senayan, Jakarta, Selasa (3/12/2013).
Isu ini didiskusikan dalam Seminar Kebangsaan MPR bertajuk 'Reformulasi Model GBHN dan Kepemimpinan Nasional'. Yudhi melanjutkan sesungguhnya MPR merupakan perwujudan semangat sila Pancasila 'Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan'.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kekuasaan negara menjadi kekuasaan partai, dengan memagnifikasi fungsi DPR dan mengintervensi jabatan pemerintahan," tutur Yudhi.
Ketua Fraksi Golkar di MPR, Rully Chairul Azwar melihat kewenangan MPR memang perlu dihidupkan lewat amandemen. Namun dirinya tidak setuju jika amandemen tersebut menjadi perubahan besar-besaran.
"Saya sepakat kewenangan MPR diperkuat, namun MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara yang membawahi presiden," kata Rully.
Rully menyatakan fungsi GBHN mirip dengan RPJM dan RPJP. Maka yang perlu diubah hanyalah kewenangan MPR untuk terlibat dalam pembentukan RPJP dan RPJM saja.
"Juga perlu dilakukan revisi UU No 27 /2009 tentang MD3 khususnya Pasal 4 tentang Tugas dan Wewenang MPR," tandas Rully.
(dnu/van)