Tidak ada! dr Lo merasa terikat dengan sumpah prosesi. Tapi di luar ada 4 hal penting yang melatari dr Lo bersikap seperti itu. Pertama, ia selalu terngiang pesan sang ayah yang seorang pedagang. Ketika itu, ayahnya mengatakan jika memilih menjadi dokter, maka jangan mencari duit. Kalau niatnya mencari duit, lebih baik menjadi pedagang. Pesan dari ayahnya itu mengena betul di hatinya.
"Saya pegang (pesan) itu hingga sekarang," kata dr Lo saat ditemui di kediaman yang juga tempat praktiknya akhir pekan lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Para dokter ahli saat itu mengatakan harapan hidup saya tinggal 10 hingga 20 persen. Saya sendiri dokter, sehingga tahu kondisi yang saya alami. Namun nyatanya saya masih diberi kesembuhan. Setelah itu saya bertekad untuk mengabdikan diri sepenuhnya kepada dunia kesehatan, terutama warga kurang beruntung. Nyawa saya telah disambungkan lagi oleh Tuhan, karenanya saya harus menyerahkan sisa kehidupan ini sepenuhnya untuk Tuhan melalui pengabdian kepada hamba-Nya," papar pria kelahiran Magelang ini.
Pengalaman berikutnya yang semakin menguatkan hatinya untuk kerja pelayanan kepada warga miskin adalah ketika dia bertugas di Solo. Dia bertemu dan kemudian bergabung dengan klinik kesehatan yang dikelola oleh dr Oen Boen Ing, seorang dokter senior yang mengabdikan hidupnya untuk rakyat miskin. Semua pasien miskin yang datang ke klinik maupun praktik pribadinya dibebaskan dari biaya perawatan. Bahkan dr Oen menanggung obat untuk pasien miskin itu.
Ketika wafat pada tahun 1982, dr Oen meninggalkan utang hingga puluhan juta rupiah yang belum sempat ditebus di beberapa apotek di Solo. Utang-utang itu kemudian dilunasi para dermawan secara patungan. Selanjutnya, nama dr Oen diabadikan sebagai nama rumah sakit ternama di Solo sebagai bagian untuk mengenang pengabdian terhadap kemanusiaan yang telah dipilihnya.
"Saya terkesima dengan pengabdian dan jalan hidupnya. Saya bertekad sebisa mungkin meniru beliau, meskipun tidak bisa menyamai kedermawanan beliau. Beliau telah mengajari saya mengabdikan pengetahuan kepada kemanusiaan," tegas dr Lo.
Hal keempat adalah faktor tahu diri dan berbalas budi kepada negara. Dia memaparkan, ketika menempuh pendidikan kedokteran dulu, tidak serupiah pun dia keluarkan uang untuk biaya pendidikan. Semua ditanggung pemerintah. Setelah lulus dia langsung mendapat gaji. Karena itulah dia merasa harus tahu diri dan berbalas budi.
"Zaman Pemerintahan Bung Karno, sekolah dokter digratiskan dan setelah lulus langsung diterjunkan untuk mengabdi pada rakyat. Pemerintahan saat itu paling memikirkan hal ini (kesehatan rakyat). Saya merasa harus tahu diri juga untuk tidak memberati pasien dengan biaya mahal karena saya mendapatkan ilmu ini juga dengan cuma-cuma dan difasilitasi negara," katanya.
"Kalau sekarang, sekolah dokter biayanya sangat tinggi. Belum lagi untuk menempuh pendidikan spesialis, lebih tinggi lagi biayanya. Mungkin saja dokter lulusan sekarang ya berpikir untuk setidaknya mengembalikan modalnya ketika menempuh pendidikan," imbuh mantan direktur RS Kasih Ibu Solo ini.
Dengan nada merendah, dr Lo yakin bukan dia saja dokter yang sering memberi bantuan kepada pasien. Banyak yang melakukan hal serupa. Hanya karena bertugas di daerah terpencil atau karena faktor lain, kiprah mereka tidak pernah diketahui. Apalagi biasanya dokter-dokter seperti itu menjauh dari gemerlap media.
Setiap hari, dr Lo tetap membuka praktik di rumah pada pagi dan sore hari. Di luar itu, ia juga masih melayani pasien di RS Kasih Ibu. Osteoarthritis yang menyerang persendian lutut dan pinggul tak menyurutkannya mengabdi di usia yang kini jelas tidak muda lagi.
(try/rmd)