"Termasuk itu (kotak iuran seikhlasnya/sukarela). Pokoknya tidak ada pungutan dalam penerbitan dokumen kependudukan, karena itu akan dibiayai pemerintah," tegas Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri (Kapuspen Kemendagri) Restuardy Daud ketika ditanya mengenai kotak iuran seikhlasnya yang tak jarang ditemui warga di kelurahan atau kecamatan.
Hal itu dikatakan Restuardy saat berbincang dengan detikcom, Jumat (29/11/2013). Dasar pemikiran mengapa pasal pidana itu dicantumkan dalam revisi UU Administrasi Kependudukan, imbuh Restuardy, pelayanan publik seharusnya tidak dijadikan sumber pendapatan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelumnya Restuardy menyebutkan pasal 95 B revisi UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, yang sudah diketok palu di DPR pada Selasa (26/11) lalu dan tinggal masuk dalam lembaran negara untuk mendapatkan nomor itu.
Berikut bunyi pasal yang mengenakan pidana atas birokrat yang mengenakan pungli itu:
Setiap pejabat dan petugas pada desa atau kelurahan atau kecamatan atau unit pelaksana teknis instansi pelaksana dan instansi pelaksana yang perintahkan dan atau fasilitasi dan atau melakukan pungutan biaya kepada penduduk dalam pengurusan dan penerbitan dokumen kependudukan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan atau denda paling banyak 75 juta rupiah.
"UU yang baru pasal 95 B yang tadi pada desa, kelurahan dan kecamatan, nggak boleh pejabat perintahkan pungutan biaya dalam pengurusan dokumen kependudukan. Nanti bisa dipidana paling lama 6 tahun atau denda paling banyak Rp 75 juta. Dokumen kependudukan bukan hanya KTP lho, bisa Kartu Keluarga, akta lahir dan sebagainya," jelas Restuardy saat berbincang dengan detikcom, Kamis (28/11/2013).
(nwk/nrl)