DI/TII digarap oleh Jenderal Spoor bersama milisi Bambu Runcing sebagai kepanjangan tangan dan menjadi boneka Belanda untuk bersama-sama menyerang TNI. Kapten Raymond Westerling, yang saat itu baru saja melakukan pembantaian di Sulawesi Selatan (1947), ditunjuk sebagai pelatih militernya.
Suatu langkah yang sangat riskan, namun menurut penyusun nota rahasia Bureau Algemene Zaken van de Directie Beleidszaken IndonesiΓ« (Biro Urusan Umum Direktorat Urusan Kebijakan Indonesia), Kementerian Luar Negeri Belanda, Jenderal Spoor saat itu tidak punya opsi lain.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Westerling sendiri ketika itu telah dinonaktifkan setelah peristiwa Pembantaian Sulawesi Selatan dan pasukannya Korps Speciale Troepen (Korps Pasukan Khusus) dibubarkan pada Oktober 1948.
Selanjutnya Westerling menjalani hidup sebagai warga sipil di Pacet, kawasan Puncak. Untuk menghindari kecurigaan, dia mendirikan perusahaan angkutan.
Westerling dinilai tepat untuk tugas memberi pelatihan militer pada DI/TII. Namanya yang terkenal sebagai komandan pasukan khusus, dengan reputasi di Sulawesi Selatan, dianggap dapat mengundang rasa gentar dan sekaligus kekaguman di pihak Republik.
Untuk itu dia merangkul Amir Fatah, komandan militer TII, yang aktif beroperasi terutama di wilayah perbatasan Jawa Barat-Jawa Tengah.
Proses selanjutnya bergulir seperti telah dirancang, Fatah dan pasukannya menghentikan serangan-serangan terhadap Belanda. Dia berbalik mengerahkan pasukannya menyerang TNI pada akhir 1948.
Selain itu, melalui Fatah juga bisa dilakukan kontak dengan Kartosoewirjo, yang akhirnya juga berbalik haluan. Pasokan senjata kepada DI/TII pun ditingkatkan. "Dengan demikian di seluruh wilayah yang dikuasai DI/TII berkembang keadaan di mana seragam dan Bendera Belanda dihormati," bunyi kutipan dari nota.
Koalisi dengan DI/TII dan disokong Bambu Runcing ini dicatat sebagai sukses besar. Kepada pihak luar, mereka tetap menunjukkan sikap anti-Belanda, tetapi diam-diam semua aksi kedua kelompok ini dikoordinir secara langsung oleh Westerling.
Hasilnya, pada awal 1949 TNI mulai mengalami berbagai kekalahan strategis di Jawa Barat. Pada saat bersamaan tekanan pada pasukan Belanda mulai berkurang. Kartosoewirjo pun terus memperluas pengaruhnya di Jawa-Barat.
Namun aliansi kelompok ini mulai tak terkendali ketika Jenderal Spoor secara mendadak meninggal dunia pada 25 Mei 1949 di Batavia. (Bersambung)
(es/nrl)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini