Pasien yang ditangani dr Ayu cs berama Julia Fransiska Makatey (26). Usai menjalani operasi caesar, Julia meninggal dunia, sementara bayinya selamat. Pihak keluarga yang tak terima dengan kematian korban, lalu melakukan gugatan malpraktik.
Sempat dibebaskan di tingkat pengadilan negeri, dr Ayu akhirnya dinyatakan bersalah di tingkat kasasi. Dia divonis 10 bulan penjara dan kini sudah dibui.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kronologi
|
dr Ayu, dr Hendry Siagian, dan dr Hendry Simanjuntak yang bertugas di RS Kandou Manado menangani pasien bernama Julia Fransiska Makatey (26). Oleh tim medis, proses persalinan anak kedua Julia dianggap tidak lancar dan membahayakan. dr Ayu dan koleganya segera melakukan operasi caesar darurat.
Jabang bayi bisa dikeluarkan dan selamat, tapi kondisi Julia memburuk. 20 Menit kemudian, ia meninggal. Merasa ada kejanggalan, keluarga Julia melapor ke polisi. Mereka beralasan Julia tidak mendapatkan penanganan yang seharusnya. Dokter dituding melakukan pembiaran karena tidak segera menangani Julia.
Desember 2010
Kasus tersebut diproses polisi. 8 Bulan kemudian, atau Desember 2010, dr Ayu datang ke keluarga Julia sebagai bentuk empati. Bersama tim medis, ia meminta pihak keluarga Julia menandatangani surat agar tidak melanjutkan kasusnya, tapi keluarga menolak.
15 September 2011
Jaksa Pengadilan Negeri Manado menuntut dr Ayu, dr Hendry Siagian, dan dr Hendry Simanjuntak dengan 10 bulan penjara. Namun di akhir sidang, ketiganya divonis bebas. Oleh hakim, kematian Julia disimpulkan karena gangguan di peredaran darah pasca kelahiran.
Jaksa tidak terima atas vonis itu. Mereka mengajukan kasasi ke MA dan dikabulkan.
18 September 2012
dr Ayu dan koleganya ditetapkan sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO). Atas putusan MA, dr Ayu ditangkap di tempat praktiknya, RSIA Permata Hati, Balikpapan, Kaltim, Jumat, 8 November 2013 lalu. Ia dibawa ke Manado dan dijebloskan ke Rutan Malendeng.
Tujuh hari kemudian, satu kolega dr Ayu, dr Hendry Simanjuntak, ditangkap di Medan Sumatera Utara. Ia menyusul dr Ayu, ditempatkan di Rutan Malendeng. Kini hanya tersisa dr Hendry Siagian yang masih buron.
Versi Keluarga Korban
|
Yulin kemudian menceritakan kembali kejadian yang berawal pada tanggal 9 April 2010 lalu. Saat itu anaknya, masuk ke Puskesmas di Bahu Kecamatan Malalayang jelang melahirkan. Tanda-tanda melahirkan terlihat pukul 04.00 WITA, keesokan harinya, setelah pecah air ketuban dengan pembukaan 8 hingga 9 centimeter.
Tapi dokter Puskemas merujuk ke RS Prof dr Kandou, Malalayang karena Fransiska mempunyai riwayat melahirkan dengan cara divakum pada anak pertamanya. "Kami tiba pukul 07.00 WITA, lalu dimasukkan ke ruangan Irdo," kata Yulin kepada detikcom, Senin (25/11/2013) malam.
Karena hasil pemeriksaan terjadi penurunan pembukaan hingga 6 cm, pagi itu Fransiska lalu diarahkan ke ruang bersalin. Yulin lalu mengatakan, saat itulah seakan terjadi pembiaran terhadap anaknya, karena terkesan mengulur waktu menunggu persalinan normal.
Hingga malam hari sekitar pukul 20.00 WITA, tindakan melakukan operasi baru dilakukan dr Ayu dan dua rekannya. Keluarga pun bolak-balik ruang operasi dan apotek untuk membeli obat. Dengan kondisi tidak membawa uang cukup, tawar-menawar obat dan peralatan terjadi
"Bahkan saya coba menjamin kalung emas yang saya pakai, sambil menunggu uang yang masih dalam perjalanan, tapi tetap tidak dihiraukan. Operasi pun akhirnya mengalami penundaan," beber Yulin.
Lanjutnya, pada pukul 22.00 WITA, uang dari adiknya pun tiba. Jumlahnya pun tidak mencukupi seperti permintaan pihak rumah sakit. Setelah bermohon berulang kali, operasi kemudian dilaksanakan. 15 menit kemudian, dokter keluar membawa bayi dan memberi kabar anaknya dalam keadaan sehat. Tapi hanya berselang 20 sampai 30 menit kemudian, dokter bawa kabar lagi kalau anaknya sudah meninggal dunia.
"Kami kecewa terjadi pembiaran selama 15 jam terhadap anak saya. Kenapa tindakan operasi baru dilakukan setelah kondisi anak saya sudah menderita dan tidak berdaya?" tandasnya.
"Ini jelas ada kesalahan yang dilakukan dokter, itu makanya kami keluarga melaporkan ke polisi," tambah Yulin.
Versi POGI
|
"Setelah delapan jam masuk tahap persalinan, tidak ada kemajuan dan timbul tanda-tanda gawat janin, sehingga diputuskan untuk dilakukan operasi caesar darurat," tutur Nurdadi.
Pada waktu sayatan pertama dimulai, keluar darah yang berwarna kehitaman. Menurut dr Nurdadi, itu merupakan tanda bahwa pasien dalam keadaan kurang oksigen. Bayi pun berhasil dikeluarkan, namun pasca operasi kondisi pasien memburuk. Sekitar 20 menit kemudian, pasien dinyatakan meninggal dunia.
Atas kasus ini, tim dokter yang terdiri atas dr Ayu, dr Hendi Siagian dan dr Hendry Simanjuntak, dituntut Jaksa Penuntut Umum (JPU) hukuman 10 bulan penjara. Pengadilan Negeri (PN) Manado menyatakan ketiga terdakwa tidak bersalah dan bebas murni. Mengapa bisa?
"Dari hasil autopsi ditemukan bahwa sebab kematiannya adalah karena adanya emboli udara, sehingga mengganggu peredaran darah. Emboli udara atau gelembung udara ini ada pada bilik kanan jantung pasien. Dengan bukti ini PN Manado memutuskan bebas murni," tutur dr Nurdadi.
Dalam surat keberatan tersebut, POGI menyatakan bahwa putusan PN Manado menyebutkan ketiga terdakwa tidak terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana. Selain itu, Majelis Kehormatan dan Etika Profesi Kedokteran (MKEK) menyatakan tidak ditemukan adanya kesalahan atau kelalaian para terdakwa dalam melakukan operasi pada pasien.
Putusan MA
|
Bahwa Dokter Ayu, Dokter Hendry dan Dokter Hendy sebagai dokter di Rumah Sakit Prof Dr RD Kandou Manado melakukan operasi Cito Secsio Sesaria terhadap korban Siska Makatey. Pada saat korban sudah tidur telentang di atas meja operasi kemudian dilakukan tindakan asepsi antiseptis pada dinding perut dan sekitarnya.
Selanjutnya, korban ditutup dengan kain operasi, kecuali area pembedahan. Di mana saat itu korban telah dilakukan pembiusan total.
Dokter Ayu (terdakwa I) mengiris dinding perut lapis demi lapis sampai pada rahim milik korban untuk mengangkat bayi. Setelah itu, rahim korban dijahit sampai tidak terdapat perdarahan untuk selanjutnya dilakukan penjahitan terhadap dinding perut.
Peran Dokter Hendry (terdakwa II) sebagai asisten operator I, dan Dokter Hendry (terdakwa III) asisten operator II membantu memperjelas area pembedahan yang dilakukan Dokter Ayu sebagai pelaksana operasi.
Pada saat sebelum operasi dilakukan, para terdakwa tidak pernah menyampaikan kepada pihak keluarga korban tentang kemungkinan-kemungkinan terburuk, termasuk kematian yang dapat terjadi terhadap korban.
Selain itu, para terdakwa juga melakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan jantung, foto rontgen dada dan lainnya, setelah dilakukannya pembedahan. Seharusnya, prosedur itu dilakuan sebelum proses pembedahan berlangsung.
Usai pemeriksaan jantung, Dokter Ayu melaporkan kepada saksi Najoan Nan Waraouw sebagai konsultan jaga bagian kebidanan dan penyakit kandungan bahwa nadi korban 180 kali per menit. Dan saat itu, Najoan menanyakan kepada Dokter Ayu tentang hasil pemeriksaan jantung. Selanjutnya dijawab oleh Dokter Ayu tentang hasil pemeriksaan adalah denyut jantung sangat cepat (Ventrikel Tachy Kardi). Namun, Najoan mengatakan bahwa denyut nadi 180 kali per menit bukan denyut jantung sangat cepat tetapi kelainan irama jantung (fibrilasi).
Berdasarkan keterangan saksi Dokter Hermanus J Lalenoh Sp An, tekanan darah sebelum korban dianestesi atau dilakukan pembiusan sedikit tinggi, yakni pada angka 160/70. Akan tetapi pembedahan dengan kondisi tersebut, pada prinsipnya, dapat dilakukan namun dengan anestesi risiko tinggi.
Karena itu, Dokter Hermanus meminta agar terdakwa menjelaskan kepada keluarga korban tentang segala kemungkinan yang dapat terjadi.
Sementara itu, berdasarkan hasil rekam medis No 041969 yang telah dibaca oleh saksi ahli Dokter Erwin Gidion Kristanto SH Sp F, pada saat korban masuk rumah sakit, keadaan korban adalah lemah dan status penyakit korban adalah berat.
Berdasarkan uraian tersebut, MA memutuskan bahwa Dokter Ayu, Dokter Hendry, dan Dokter Hendry "lalai dalam menangani korban saat masih hidup dan pelaksanaan operasi, sehingga korban mengalami emboli udara yang masuk ke dalam bilik kanan jantung." Kondisi itu menghambat darah masuk ke paru-paru hingga mengakibatkan kegagalan fungsi paru dan jantung.
Halaman 2 dari 5