"Akibat ketidaktegasan polisi muncul tiga dampak negatif dalam kasus pembajakan Kopaja tersebut," ujar Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane dalam pernyataannya, Minggu (17/11/2013).
Pertama, kata Neta, tidak adanya kepastian hukum. Padahal pembajakan bus itu diduga untuk kegiatan tawuran. Kedua, korban yang sudah dirugikan para pelajar kembali dirugikan oleh sikap polisi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tapi sebagai konsekuensi penegakan disiplin, pihak SMAN 46 tetap harus mengeluarkan ke-36 pelajar tersebut dari sekolah. Ternyata hal ini tidak diterima para pelajar dan orang tuanya, sehingga akan menuntut pihak SMAN 46," jelas Neta.
IPW mendesak Polda Metro Jaya memproses kasus ini. Sebab, kejahatan yang dilakukan para pelajar tersebut bisa dikenakan pasal berlapis, antara lain merampas kemerdekaan orang lain (supir dan penumpang), merugikan orang lain secara ekonomi, mengganggu ketertiban umum, dan membawa senjata tajam secara tidak sah.
Dalam KUHP Pasal 329 disebutkan, barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum mengangkut orang ke daerah lain, padahal orang itu telah membuat perjanjian untuk bekerja di suatu tempat tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Sementara membawa senjata tajam secara tidak sah, ancaman hukumannya minimal 2 tahun penjara.
"Sikap tegas polisi diperlukan mengingat korban akibat tawuran pelajar terus meningkat. Tahun 2012 ada 82 orang tewas akibat tawuran pelajar," tutur Neta.
Sebelumnya 36 Pelajar yang diduga melakukan pembajakan Kopaja 615 Jurusan Lebak Bulus Tanah Abang, 17 Oktober lalu tidak dipidana. Pihak sekolah dan orangtua di hadapan petugas kepolisian, sepakat untuk tidak membawa kasus tersebut ke ranah hukum.
"Ada kesepakatan antara sekolah, orangtua, dan kepolisian, agar kasus tersebut tidak dibawa ke ranah hukum, tapi dibawa dan dikembalikan ke ranah pendidikan serta dihadapkan ke peraturan sekolah," kata Kadis Pendidikan DKI, Taufik Yudi Mulyanto saat dihubungi detikcom, Jumat (15/11).
(mpr/nwk)