Pondhongan digelar di Tratag Bangsal Kencana menuju Emper Kagungan Dalem Bangsal Kencana sebelah utara. Mempelai perempuan dibopong beberapa langkah. Setelah itu, kedua mempelai berjalan bergandengan tangan menuju pelaminan.
Pengantin putri GKR Hayu dibopong dua pria, GBPH Suryodiningrat (paman) dan KPH Notonegoro (suami). Prosesi ini dilakukan sebagai simbol, mempelai wanita yang merupakan anak raja, haruslah berada di posisi yang terhormat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelum prosesi tersebut, kedua mempelai dipertemukan dalam acara panggih. Upacara panggih ini digelar di Tratag Bangsal Kencana. Dalam prosesi ini Sri Sultan dan GKR Hemas memanggil calon mempelai pria beserta pengiring dipanggil untuk menghaturkan Sanggan Pethukan diiringi abdi dalem edan-edanan di Emper Kagungan Dalem Bangsal Kencana Wetan.
Abdi dalem edan-edanan yang berpakaian pengantin namun acak-acak mirip badut ini merupakan talak bala agar prosesi berjalan lancar tanpa ada gangguan. Abdi dalem edan-edanan diperankan oleh abdi dalem yang sudah tua dan sudah tidak mengalami menstruasi lagi.
Prosesi dilanjutkan dengan balangan gantal. Secara bergantian, kedua mempelai saling melempar gantal atau sirih yang digulung benang warna putih (lawe). Balangan gantal ini memiliki makna agar pernikahan langgeng. Bila terjadi kesalahpahaman harus diakhiri dengan perdamaian. Kesalahpahaman merupakan bagian dari dinamika hidup kehidupan suami dan istri.
Upacara dilanjutkan dengan mecah tigan (memecahkan telur) oleh mempelai pria. Mempelai pria akan menginjak telur yang sudah disiapkan. Mecah tigan ini memiliki makna mempelai akan menginjak kehidupan baru, dari yang semula belum menikah, menjadi berkeluarga.
Selanjutnya dilakukan wijikan. Mempelai wanita membasuh kaku mempelai pria yang dimasukkan dalam sebuah nampan. Prosesi ini merupakan simbol wujud bakti seorang istri kepada suaminya.
(bgs/try)