Sering Dicap Negatif hingga Nyawa Menjadi Taruhan

Rompi Antipeluru Polisi

Sering Dicap Negatif hingga Nyawa Menjadi Taruhan

- detikNews
Senin, 16 Sep 2013 13:17 WIB
Sejumlah polisi lalu lintas tampak kelelahan setelah sejak pagi hari mengatur arus kendaraan dan pedemo. (Fotografer - Dikhy Sasra)
Jakarta - Jarum jam dinding menunjukkan pukul sembilan pagi. Namun mata ST, 44 tahun, masih terlihat sayu dengan wajah lesu karena kurang tidur ketika membuka pintu masuk rumahnya di kawasan asrama Polri Cipinang, Jakarta Timur.

Polisi bintara berpangkat Ajun Inspektur Polisi Dua ini baru menyelesaikan tugas piket yang membuatnya harus menginap di kantor Kepolisian Sektor Matraman. Tuntutan kerja di bagian Unit Intelkam kadang harus membuat dirinya bisa mengorbankan waktu berkumpul bersama istri dan putranya.

Acapkali ST harus pulang larut malam hanya untuk menunggu laporan dari rekannya. Padahal, ia mulai bekerja sejak pagi. “Baru balik ini belum tidur habis piket semalam,” kata ST saat ditemui detikcom, Sabtu pekan lalu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

ST sadar polisi saat bekerja itu taruhannya nyawa karena berurusan di dunia kriminal. Apalagi divisinya yang menyangkut urusan pengawasan dan pengamanan. Mengacu peristiwa beberapa rekan seprofesi yang meninggal karena ditembak, ST mengaku ia dan polisi lain memerlukan rompi antipeluru.





Menurutnya, selama ini persediaan rompi antipeluru masih terbatas. Sementara, jumlah petugas lebih banyak tiga kali lipat. “Ada perasaan was-was juga kalau piket di kantor lagi sepi. Bisa aja kan di dor. Lah, kita dibaju enggak pake apa-apa,” ujarnya.

Dia juga mengatakan selama ini masyarakat menganggap polisi hanya mencari duit dan melihat yang negatif. Padahal, tidak semua polisi seperti itu. Prestasi dan kinerja positif polisi jarang diungkap. ST mencontohkan dengan gaji dirinya yang sekitar Rp 5,5 juta per bulan serta risiko kerja yang tinggi, kadang masyarakat sering mencibir.

Dengan gaji itu pula ST harus menjadi tulang punggung keluarga. “Kita dianggap sering mainin proyek dan nyambi. Ada memang. Tapi, enggak, gak semuanya kita begitu,” ujarnya menegaskan.

Memiliki Ayah seorang polisi membuat Fathan, 9 tahun, bangga sekaligus khawatir. Putra semata wayang ST ini meski masih bocah sudah mengerti sulitnya menjadi polisi. Dia juga mengaku sedih mendengar cerita teman-teman sekolahnya kalau sekarang polisi sering ditembak sama penjahat. “Dari TK diajarin doa sama Mama. Doain saja supaya Ayah selamat dan bisa pulang cepat,” ujarnya.

Begitu juga dengan Widi, 25 tahun. Memiliki ayah yang berdinas di Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya kadang membuat dirinya agak khawatir. Pola pikir masyarakat yang banyak tidak menyukai Polantas membuatnya takut kalau sewaktu-waktu ada pihak yang tidak senang dengan sosok ayahnya.

Menurutnya, tidak semua Polantas berkelakuan negatif dengan mencari materi terhadap masyarakat. Meski ia tidak menampik masih ada oknum polisi yang sengaja mencari duit di tengah kesulitan masyarakat. “Orang kan beda-beda ya. Itu tergantung orangnya," tegasnya kepada detikcom, Sabtu lalu.

Maraknya pemberitaan sejumlah polisi bintara yang ditembak membuat Widi sering kepikiran ayahnya, Suharto, yang sekarang berusia 52 tahun. Dengan pangkat Brigadir Polisi Kepala, ayahnya kadang masih ditugaskan di lapangan untuk patroli. Kadang saat patroli pun, ayahnya tidak memegang peralatan lengkap seperti memakai rompi antipeluru.

“Siapa sih yang gak takut. Bohong kalau kita gak was-was. Bokap sudah tua dan masih sering pulang malam kalau ada demo macam-macam. Kalau bisa kasih rompi antipeluru ya diusahakan buat jaga diri,” kata Widi yang merupakan karyawan swasta ini.


(brn/brn)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads