Ormas Front Pembela Islam (FPI) menyatakan tetap menentang keras meski hanya digelar di Bali. Humas Lembaga Dakwah Dewan Pimpinan Pusat FPI, Ustad Novel Bamu'min, menegaskan FPI menganggap masyarakat kafir yang punya kepentingan dan kekuatan uang mengatur pemerintah Indonesia.
Novel menekankan, Bali masih bagian dari Indonesia dan terdapat umat muslim. Hal ini, tegas dia, yang harus diperhatikan dan diprioritaskan oleh pemerintah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Misalnya, kata dia, pernyataan pejabat Bali yang mendukung ajang Miss World dan siap menghadapi FPI bila mengganggu kelancaran ajang tersebut.
"Pernyataan ini sangat arogan menantang umat Islam. Barang siapa yang menggagalkan Miss World, dia akan bikin perang sisipan. Dengan pernyataan sangat arogan, kita prihatin itu bukan sebagai pernyataan negarawan," kata Novel kepada detikcom, kemarin.
Novel juga menyinggung pihaknya bakal menggelar aksi damai pada Sabtu besok di Bundaran Hotel Indonesia. Rencananya, aksi ini bertujuan untuk menghentikan jadwal para kontestan Miss World yang akan menginap di Hotel Grand Hyatt, Jakarta.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai meski lokasi penyelenggaraan Miss World direvisi dan hanya di Bali, MUI masih tidak bisa diterima dan menganggap sebagai ajang sia-sia yang mubazir.
Anggota Komisi Fatwa MUI, Imam Adharo Kusni, mengatakan pemerintah mesti mengevaluasi pascaajang ini. Menurutnya, pemilihan lokasi di Bali hanya untuk memikirkan kelancaran acara tersebut tanpa memprioritaskan aspirasi umat Islam.
Hal itu, kata Imam, hanya sebagai bentuk respons kecil akibat gelombang aksi yang dilakukan berbagai ormas Islam pada pekan lalu. "Iya jelas di mana pun itu kami nolak keras. Bali itu masih bagian dari Indonesia. Kecuali kalau pindah ke Timor Leste ya lain. Hanya buang-buang duit, manfaat ke depan belum tahu," kata Imam saat ditemui detikcom, kemarin.
Hal senada dikatakan Ketua Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (NU) Slamet Effendi Yusuf. Menurut dia, penolakan ajang Miss World lebih karena tidak samanya budaya, agama, serta manipulasi dan eksploitasi yang disebabkan sistem kapitalis terhadap tubuh perempuan.
"Itu yang kita tentang. Bukan soal teknis busana dan tempat. Tapi, harus dipikirkan dampaknya ke depan," kata Slamet ketika ditemui detikcom, kemarin. Dia mengaku mengkhawatirkan pascaajang ini pemerintah semakin mudah disetir oleh kepentingan asing yang tidak bermanfaat.
(brn/brn)