Kepolisian sebenarnya sudah menyebar beberapa nomor hotline pengaduan. Sayang masyarakat terlanjur tak percaya pengaduannya lekas direspon polisi.
βKami tidak percaya dengan keamanan yang akan diberikan polisi. Jadi enggak pernah nyoba nomor (hotline) itu dan bahkan enggak pernah terpikir juga,β kata Damayanti yang merupakan karyawati di sebuah perusahaan swasta di Jakarta kepada detikcom, Senin (2/9) lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tidak mengherankan ada anggapan masyarakat kalau percuma melaporkan kepada polisi karena akan dipersulit. Fasilitas adanya nomor pengaduan hotline juga dinilai belum efektif dan masih membingungkan masyarakat.
βEnggak bekerja dan tidak efektif itu. Cuma sekedar jadi pencitraan dan dianggap terkesan modern,β kata Thamrin kepada detikcom, Senin (2/9) lalu.
Kerja polisi yang lamban pernah dirasakan oleh Damayanti. Dua tahun lalu, dia menjadi korban pencopetan saat naik angkutan kota dari pasar Palmerah ke daerah Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Meski saat itu sudah hampir pukul 12 malam, namun suasana di jalan Palmerah masih cukup ramai.
Demi keamanan, Damayanti yang kala itu bersama seorang temannya memilih angkutan kota yang ramai penumpang. Sayangnya karena pengaruh kaca dan lampu yang agak gelap, ia tidak bisa melihat jelas ke dalam.
Benar saja, saat ia dan temannya naik angkot di dalam sudah ada empat pria yang duduk di masing-masing sudut angkot. βEnggak terpikir hal yang buruk saat itu. Tapi karena mereka sudah duduk di sudut ya terpaksa kami duduknya di bagian tengah,β ujarnya.
Saat angkot sudah mulai bergerak meninggalkan pasar, keempat pria itu mulai saling ngobrol. Nada suara terdengar kuat dan bahan pembicaraannya pun seakan menebarkan intimidasi. Salah satunya menyebut bahwa ada kasus penusukan dengan pisau di sebuah kampus di Palmerah.
β Iya nih, sekarang anak-anak suka bawa senjata tajam,β kata salah satu pria menimpali temannya seperti dikisahkan Damayanti kepada detikcom, Senin (2/9) lalu.
Dia menduga percakapan keempat pria sengaja untuk mengintimidasi penumpang lainnya. Berlagak membuktikan, pria-pria itu menarik tas Damayanti dan rekannya sambil memeriksa satu per satu.
βKami antara kaget, bingung dan takut. Tas kami ditarik dan diperiksa sama dia. Mereka memposisikan diri seperti intelijen, padahal kan apa hak mereka sebenarnya,β kata dia.
Angkot itu masih terus berjalan. Damayanti pun tak berani berteriak karena salah satu pria yang duduk persis di depannya terlihat memegang kantong.
Dalam kondisi demikian, Damayanti meminta turun. Namun supirnya tak kunjung meminggirkan angkutan. Baru setelah salah satu pria memberi kode, Damayanti dan temannya diturunkan.
Namun setelah turun dari angkutan, Damayanti baru sadar telah menjadi korban pencopetan. Telepon genggam dan sejumlah uang di tasnya telah berpindah tangan. Begitu turun, ia tak sempat meminta bantuan pada orang-orang di sekitarnya karena angkot sudah keburu meluncur.
Dengan gontai, ia dan rekannya mengadu ke kantor Kepolisian Sektor Kebayoran Lama malam itu juga. βTapi enggak dikejar (oleh polisinya), mungkin karena enggak dikasih duit,β kata dia.
Asumsi Damayanti itu terbukti karena beberapa hari kemudian pelaku dengan modus yang sama masih ditemukan di angkot 09. βAda yang kena lagi, kantornya satu gedung dengan kantorku. Bahkan kejadiannya pagi hari,β kata dia.
Sampai kini Damayanti masih trauma, tak berani naik angkutan kota jurusan yang sama. Dia khawatir pelakunya masih bebas berkeliaran. βDi Jakarta kita harus menjaga diri sendiri dengan berbagai cara,β ujar dia.
(erd/erd)