"Batasan atau rambu-rambu yang harus senantiasa diperhatikan oleh hakim dalam penerapan kebebasan atau independensi adalah aturan-aturan hukum itu sendiri," kata Hatta Ali.
Hal ini dituangkan dalam kumpulan tulisan 'Keseimbangan Kebebasan dan Tanggung Jawab Hakim dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman' di buku Hukum Pidana Indonesia yang diterbitkan dalam rangka memperingati purnabakti 70 tahun Prof Dr Komariah Emong Sapardjaja sebagai Guru Besar Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Senin (2/9/2013).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Hatta, karena tidak bersifat mutlak maka dalam kebebasan itu terkandung pertanggungjawaban hukum. Bentuk pertanggungjawaban adalah memberikan pertimbangan dan argumentasi dalam putusan itu.
"Terutama argumentasi yuridis, argumentasi moral dan argumentasi sosiologis yang mendasari putusan yang diambilnya," ujar mantan Ketua Pengadilan Negeri Sabang ini.
Adapun koreksi terhadap putusan hakim yang salah, menurut Hatta, hanya dapat dilakukan oleh pengadilan yang lebih tinggi. Sedangkan terhadap etika dilakukan oleh Komisi Yudisial (KY).
"Dalam putusan selalu disyaratkan adanya pertimbangan yang berisi argumentatif dalam mengambil putusan dan putusan tersebut dapat dipublikasikan sehingga masyarakat dapat menilai secara utuh suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap untuk menjadi bahan kajian secara ilmiah," terang mantan Ketua Muda MA bidang Pengawasan ini.
Sayang, dalam tulisan tersebut Hatta Ali tidak mencontohkan kasus yang dimaksud. Padahal beberapa waktu terakhir Indonesia digemparkan putusan janggal di tingkat peninjauan kembali (PK) seperti di kasus Hengky Gunawan dan Sudjiono Timan yang tengah bergulir.
Nah, bagaimana jika kesewenang-sewenangan independensi hakim dilakukan di tingkat PK sementara PK kedua secara normatif dilarang?
(asp/nrl)