Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) Jakarta, Poltak Agustinus Sinaga, mengatakan adanya oknum calo dadakan yang mencari keuntungan dari warga Waduk Pluit muncul setelah jamuan makan siang Gubernur Jokowi yang pertama terhadap warga pada Mei lalu.
Poltak mengatakan sebagian oknum berasal dari warga Waduk Pluit yang sengaja meminta duit untuk melancarkan urusan relokasi. Sebagian warga yang awam dan tidak paham hanya bisa memberikan uang dengan harapan tidak bermasalah kalau jadi direlokasi ataupun tidak. Seharusnya, kata dia, pihak Pemprov DKI bisa mengantisipasi hal ini dengan sering mengimbau lewat pejabat lurah serta camat setempat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Cara ini, menurut Poltak, bisa menjelaskan secara langsung ketimbang menunggu instruksi penertiban dari Jokowi. “Jangan sampai ujungnya jadi banyak calo yang nawarin rumah warga. Terus ditakut-takutin, eh, kalau lo enggak bayar begini nanti enggak dapat apa-apa lho. Setelah diselidikin itu uang masuk juga ke Polsek, Polres. Ya, warga yang polos, sekarang kesal lah,” beber Poltak kepada detikcom, Rabu (28/8).
Dia menambahkan sebenarnya langkah Jokowi untuk mengajak makan siang warga agar bisa berdialog itu sudah bagus. Cara ini bisa mendekatkan antara pemimpin dan rakyat. Namun, perlu diikuti jajaran bawahannya yang bergerak secara positif untuk persoalan ini karena ini menyangkut nasib kehidupan ribuan orang.
Poltak menekankan tidak bisa persoalan waduk Pluit ini diatasi hanya duet Jokowi dan Ahok. “Iya, semuanya perangkat harus gerak maksimal kalau ingin warga ngerti juga. Warga banyak yang belum paham. Enggak bisa cuma andalkan Jokowi-Ahok saja,” jelasnya.
Ihwal laporan warga ke Polda, menurut Poltak pihaknya hanya mendampingi warga yang mendapat perlakukan kekerasan dari Satpol PP saat penertiban rumah di bantaran Waduk Pluit, Kamis pekan lalu.
Ia menilai Pemprov DKI dalam hal ini Jokowi melanggar perjanjian yang sudah disepakati dengan Komnas HAM agar proses penertiban dilakukan dengan menghindari kekerasan. Namun, kenyataan di lapangan berbeda karena beberapa warga melaporkan dipukul serta diseret karena menghalangi proses penertiban rumah liar.
Bahkan, ia menyebut petugas satpol masih menggunakan pentungan dan tameng saat proses penertiban. Menurutnya, pemukulan disertai perusakan paksa itu ada hukum yang mengatur dan bisa dilaporkan kepada pihak terkait.
“Legal PBHI yang mahasiswa magang saja ditonjok mukanya. Ya, ada belasan warga lah yang menjadi korban. Tapi, baru tiga orang yang divisum. Mereka rata-rata dipukul, diseret. Pemimpin juga harus terima kritikan. Jangan seolah-olah sikapnya selalu dianggap benar,” urainya.
Kepala Divisi Advokasi PBHI Jakarta, Simon Fernando Tambunan, mengatakan laporan kepada polisi tersebut sebagai bentuk agar ada persamaan hukum dalam proses kekerasan. Menurutnya, upaya ini juga dilakukan agar pihak pemerintah bisa sadar dan bertanggung jawab terhadap kebijakannya.
“Ya, dilaporkan dengan pasal 355 karena perbuatan tidak menyenangkan dan pasal 170 atas pengrusakan rumah warga dan penganiyaan. Enggak ada itu istilahnya Gubernur atau para Satpol PP bisa lepas dari hukum,” katanya kepada detikcom Rabu kemarin.
(brn/brn)