Aturan ini sudah mulai diterapkan di Jakarta sejak 1994 dan beberapa kali direvisi hingga yang terakhir pada 2004. Tapi tak semua pengendara yang kebetulan melintas pada berpenumpang lebih dari tiga orang.
Walhasil, ketentuan itu dimanfaatkan untuk meraup rezeki dengan menjual jasa sebagai penumpang bayaran khususnya bagi kendaraan pribadi yang akan melalui jalur 3 in 1. Menjadi joki berarti bersedia berdiri di tepi jalan sekitar pukul 07.00– 10.00 WIB dan 16.30–19.00 WIB, sesuai jam operasional sistem 3 in 1.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Belakangan, pekerjaan yang hanya khas di ibu kota ini bahkan dijadikan profesi. Titin, 33 tahun, misalnya mengaku sudah menjadi joki lebih dari 10 tahun. Wanita yang tinggal di Bintaro, Tangerang Selatan, ini mengungkapkan bahwa rekannya sesama joki tak jarang berasal dari kalangan cukup berada. “Enggak semua joki itu orang susah, ada juga yang hidupnya sudah enak tapi masih jadi joki,” tutur ibu tiga anak ini.
Titin mengungkapkan, penghasilannya sebagai joki bisa diandalkan untuk biaya sehari-hari, termasuk untuk sekolah anak-anaknya yang duduk di bangku SMP dan SD. “Nyari kerjaan nyuci gosok susah sekarang. Lagian penghasilan jadi joki lebih banyak. Jam kerja cuma berapa jam, makanya banyak yang jadi joki,” kata dia saat ditemui di Jalan Pattimura.
Sekali perjalanan, Titin mengaku mendapat upah Rp 20-25 ribu. Tapi tak jarang ada juga pengendara yang memberikan Rp 50 ribu karena ia selalu menggendong bungsunya sehingga mendapat tarif lebih. Meski hanya jadi joki pada pagi hari saja, Titin bisa meraup Rp 100 ribu.
Dia juga tak tak menampik bisa mengantongi hingga Rp 3 juta rupiah tiap bulan. “Alhamdullilah,” ucapnya. Adapun Upah Minimum Regional (UMR) DKI Jakarta 2013 sebesar Rp2.216.243.
Keberadaan Vian, 23 tahun, di tepi jalan pada Senin malam lalu menjadi bukti. Mengenakan sepatu olahraga, kaos Polo garis-garis warna cerah dipadu jins membuat Vian tak terlihat datang dari kalangan tak mampu. Pria asal Boyolali, Jawa Tengah, ini mengaku bekerja sebagai koki junior di salah satu restoran Prancis di pusat niaga SCBD.
Dia mengaku jadi joki karena iseng-iseng dan tak mau menghabiskan masa off-nya dengan berdiam di kamar kos. “Gua cuma penasaran gimana rasanya naik mobil mewah, dikasih uang lagi,” kata dia kepada detikcom, Selasa (27/8).
Sambil senyum dia mengatakan pendapatannya dalam tempo tak sampai 2 jam sudah bisa mengantongi Rp 45 ribu. “Enak sih memang, kita hanya duduk tenang, dikasih duit, tapi ini enggak ada karirnya, kita kan enggak tahu besok apakah masih bisa jadi joki atau enggak,” ujarnya.
Tiwi, 27 tahun, warga Ragunan mengaku bisa mengantongi lebih banyak karena nge-joki pada pagi dan sore hari. Sehari-hari wanita yang sudah jadi joki lebih dari 5 tahun ini bisa mengantongi hingga Rp 200 ribu. Pasalnya, tarifnya terbilang tinggi karena selalu membawa serta anak tunggalnya di dalam gendongan.
“Patokannya kalau dari sini (Pattimura) ke HI sih nyampe Rp 30 ribu, kalau masih Senayan bisa Rp 20 ribu. Tapi kalau Harmoni bisa Rp 50 ribu. Kadang pagi aku bisa 4 kali naik, kalau sore 3 kali,” ungkap dia saat ditemui detikcom Rabu (28/8) pagi lalu.

Wanita semampai ini menambahkan ia jarang pulang dengan tangan kosong karena sudah punya beberapa langganan tetap. Umumnya para langganan itu akan mencari atau menghubunginya mengantur janji. “Aku hafal mobilnya dia juga hafal wajahku. Kalau sudah langganan, biarpun kita di (baris) depan atau di belakang biasanya mereka cari kita dulu,” kata dia.
(brn/brn)