Hal ini seharunya tidak terjadi apabila Mahkamah Agung (MA) konsisten dalam menerapkan sistem kamar MA.
"Dalam pendekatan cita-cita pembaharuan MA, tujuan dan fungsi keberadaaan kamar tidak berjalan sebagaimana yang ada dalam blue print MA," kata Ketua Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI) Alvon Kurnia Palma kepada detikcom, Rabu (28/8/2013).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Cetak biru pembaharuan MA 2010-2013 menjelaskan secara singkat tujuan penerapan sistem kamar adalah untuk menjaga kesatuan hukum, mengurangi disparitas putusan, memudahkan pengawasan putusan, meningkatkan produktivitas dalam pemeriksaan perkara dan mengembangkan kepakaran dan keahlian hakim dalam mengadili perkara.
"Putusan Timan jelas akan berkontribusi dalam menggagalkan fungsi MA sebagai lembaga tertinggi yang mensinkronisasi segala keputusan hakim yang ada di bawahnya," ujar Alvon.
MA terbelah soal sifat melawan hukum tindak pidana korupsi terhadap Timan. Yang pertama menilai Timan tetap harus dihukum karena telah melawan hukum materiil UU Tipikor.
Sementara majelis yang melepaskan Timan yaitu Suhadi, Andi Samsan Nganro, Sofyan Marthabaya dan Abdul Latief berdalih sebaliknya. Yaitu kasus korupsi yang bisa dipidana hanya yang melawan hukum formil dan Timan tidak melawan sifat hukum formil korupsi sehingga Timan lepas.
"Dengan demikian, terjadi dualisme suatu keputusan dan malah menimbulkan kontroversi," pungkas Alvon.
Saat ini terdapat lima kamar di MA yaitu kamar pidana, kamar perdata, kamar agama, kamar militer dan kamar tata usaha negara. Sistem kamar ini efektif berlaku April 2013.
(asp/nrl)