Para orang tua ini menggelar jumpa pers didampingi anggota Federasi Pilot Indonesia (FPI) di Hotel Santika Jl. Pintu 1 Taman Mini Indonesia Indah, Cipayung, Jakarta Timur, Senin (26/8/2013).
"Saya mewakili para orang tua siswa yang telah dirugikan akibat sekolah penerbang di luar negeri yang tidak bertanggung jawab dalam pendidikan pilot," ujar ketua perwakilan orang tua siswa, Capten Os. Samson.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"29 Di antaranya memiliki Enrollment Agreement yang telah disepakati, sisanya mereka tidak memiliki. Sedang untuk yang memiliki perjanjian tersebut pihak sekolah tidak menepati kewajiban mereka," tuturnya.
Samson menuturkan, anaknya yang bernama Andika (22) juga terkena dampak dari sikap manajemen sekolah. Jumlah kerugiannya mencapai ribuan dolar. Bahkan ada salah satu orang tua korban yang single parent harus menjual rumah agar dapat melihat anaknya menjadi pilot.
"Variatif untuk nilai kerugiannya karena tiap tahun mereka menarik nominal berbeda sekitar US$ 20.000-31.000 per tahunnya untuk satu calon pilot," tuturnya.
Masalah ini baru diketahui setelah para orang tua korban datang ke lokasi sekolah di Manila, Filipina. Beberapa anak didik banyak yang tidak latihan terbang karena masalah uang. Sebagian siswa bahkan ada yang tidak menjalani pendidikan sama sekali.
"Sekarang ketika mereka mau latihan terbang selalu ditanya uang bensin. Seharusnya sudah termasuk dengan dalam pembayaran di awal, kalau tidak mau mereka menunggu jadwal terbang yang tidak pasti," imbuhnya.
Selain Kapten Samson, anak Ronidin (50) juga ikut menjadi korban. Anaknya, Arief Budiman (22) mendaftar di sekolah tersebut pada Mei 2011 karena mendapat informasi di internet.
"Selain internet memang dari beberapa pilot yang saya kenal merupakan lulusan sana dan bagus-bagus, mungkin kami ini kebagian yang apesnya," imbuh Ronidin.
Belajar dari kesalahan ini, putra kedua Ronidin akhirnya menempuh pendidikan di Selandia Baru. "Setelah dapat pengakuan jam terbang langsung mengurus ke sekolah terbang di Selandia baru, sekarang tinggal menambah jam terbang," tandasnya.
Federasi Pilot Indonesia (FPI) kemudian mengimbau kepada orang tua yang anaknya sekolah pilot di luar negeri agar dapat dipertimbangkan kembali. Setidaknya masih ada belasan sekolah pilot di Indonesia yang lebih baik.
"Banyaknya keluhan dan aduan tentang para siswa yang mengalami masalah dalam mengikuti pendidikan pilot dalam dan luar negeri. Keluhan ini merupakan masalah serius dan perlu mendapat tanggapan dari pihak terkair untuk menyelesaikan secara tuntas," ujar Presiden FPI, Kapten Hasfriansyah.
Hafriansyah mengatakan akibat penelantaran yang dialami oleh calon pilot AFS, puluhan orang tua siswa mengalami kerugian finansial, waktu dan tenaga. Pasalnya pihaknya sekolah pun tidak mau menepati perjanjian sesuai kesepakatan.
(edo/mad)











































