Penulis lepas yang tinggal di Bekasi itu mengernyitkan kening tanda bingung dengan panggilan telepon tersebut tiga tahun lalu. “Ha? Sejak kapan, gua enggak punya rekening di bank itu, saya enggak mau mbak!” kata ibu satu anak ini sedikit meninggi saat menceritakan ulang kejadian itu kepada detikcom, Jumat (23/8) lalu.
Dia ingat tak pernah membuka rekening atau menjadi nasabah di salah satu bank swasta tersebut. Tapi sebelumnya Githa mengaku pernah mendaftar di salah satu penyedia asuransi pendidikan, meski akhirnya ia batalkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Githa sadar data yang sudah sempat ia berikan saat pernah mengajukan kartu kredit dan asuransi bakal sulit dijaga keamanannya. Pasalnya dari pengalamannya kerja di sebuah bank swasta, ia tahu bagaimana sistem peredaran data antartenaga pemasaran.
“Setahu gue memang marketing itu nakal-nakal, kan tenaga marketing itu berasal dari berbagai macam background dan bukan karyawan tetap, kadang yang kerja di bank A juga kerja di bank B. Jadi data customer bisa dimasukkan di bank A, kalau ditolak, ya sudah ditawarkan ke bank B,” ujar Githa membeberkan. “Jadi ada semacam jual beli data oleh oknum marketingnya, itu sudah sudah lama, sudah busuk.”
Adanya klausul bahwa bank menjamin keamanan data nasabah, menurut Githa, hanya sebatas data transaksi dan berlaku untuk tabungan. Adapun untuk kredit, keamanan database nasabah tidak terjamin. “Ada teman gua yang sudah senior di marketing dia bilang ‘kalau kita sudah pernah sekali saja memasukan data pribadi kita di kartu kredit pasti (data itu) akan ke mana-mana',” kata dia.
Githa hanya salah satu contoh dari sekian banyak orang yang mengalami hal serupa.
Di Bekasi, Meir Situmorang, 27 tahun, pun tak kalah direpotkan dengan panggilan-panggilan di nomor telepon pribadinya. Karyawati di sebuah perusahaan elektronik di Jakarta ini tiga bulan lalu terkejut saat ada panggilan dari orang yang mengaku kerja di sebuah bank swasta dan menawarkan aplikasi kartu kredit.
Sambil memanggil namanya, si penelepon berusaha membujuk Meir dengan rupa-rupa rayuan. "Dia bilang ‘selamat Anda terpilih untuk bisa memenangkan 1 set lock and lock dengan apply kartu kredit’. Katanya kartunya enggak digunain juga gak apa-apa, gak ada biaya, bahkan mau dianterin ke rumah,” ungkap Meir kepada detikcom, Kamis (22/8) lalu.
Tawaran-tawaran semacam itu terus berdatangan sekali dalam dua hari sehingga dirasanya sangat mengganggu. Meir pun tak habis pikir dari mana si penelepon mendapat datanya. Ia sangat yakin tak pernah memberikan data pribadi ke bank tersebut.
“Aku tanya mereka tahu dari mana, jawabnya cuma dapat data saja, aku bilang ‘wah kalian kerja sama jual data ya’ terus mereka ada yang ngaku bilang ‘iya, dikasih dari bank lain',” tuturnya kesal.
*****
Panggilan telepon dari para tenaga pemasaran yang mencoba mendekati Maringan Harianja, 25 tahun, rupanya sangat sering hingga membuatnya kesal. Menurutnya, setelah datanya tersebar seusai membuat aplikasi kartu kredit di sebuah bank, banyak penelepon yang menawarkan aneka rupa produk mulai dari asuransi hingga kartu kredit tambahan.
Pengalaman tersebut juga dirasakan oleh empat teman sekantor Maringan sesama pegawai negeri sipil di Pemerintah Daerah Binjai, Sumatera Utara, yang sama-sama mengajukan kartu kredit. “Lucunya kami bisa berbarengan ditelepon. Mereka juga agresif, kalau ditolak halus dengan “sore aja ya’, mereka pasti hubungi lagi sorenya," kata Maringan ketika bercerita kepada detikcom, Kamis (22/8) lalu.
"Pernah juga ada teman kantor yang beralasan sedang rapat, besoknya ditolak lagi dengan alasan yang sama, eh yang nelepon itu nyindir bilang ‘hebat juga Bapak ya, tiap hari rapat mulu’,” ungkap Maringan melanjutkan.
Awalnya ia pun sering mengangkat telepon dan menolak tawaran dengan halus. Tapi jika jengkel, ia menandai nomor para penelepon dan memilih me-rejectnya tanpa basa-basi. “Biasanya kelihatan tuh mereka pakai nomor dengan kode di awal 022 XXXXX atau pakai nomor ponsel, di mana nomor ponselnya banyak nomor kembarnya seperti 08XXX9666XXX. Ya sudah, kalau udah nomor mencurigakan kayak gitu, langsung reject,” tuturnya.
Sementara Githa ogah perang urat syaraf atau menghabiskan energi dengan marah pada si penelepon yang tak pernah bosan menghubunginya. “Dulu untuk menghindar biar enggak ditelepon lagi ya gua bohong dan kasih data palsu. Pas dia verifikasi, gua bilang saja ‘wah alamatnya sudah ganti, kerjanya juga', pokoknya gua bikin keder,” ungkapnya.
Sayangnya, telepon itu tak kunjung berhenti meski ia sudah kasih data dan alamat palsu. Saking kesal karena terlalu sering menerima telepon yang menawarkan kartu kredit, Githa akhirnya memilih membuang kartu telepon selular lamanya. “Akhirnya aku ganti kartu saja.”
(brn/brn)