Begitulah sepintas kondisi rumah SM, 46 tahun, salah seorang pengemis. Berada di ujung gang-gang sempit kampung Kebon Singkong, Kelurahan Klender, Jakarta Timur, cukup sulit menemui rumah SM.
Kondisi rumah petakan yang luasnya hanya sekitar tujuh kali enam meter itu terlihat cukup rapi. Meski beberapa warna atap dan pintu rumah tampak sudah kusam karena sering terkena kebocoran hujan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketika memasuki ruang tamu, sepertinya bayi yang sering disewakan tidak ada di rumahnya. Perempuan paruh baya ini mengaku sekarang hanya memiliki seorang bayi yang diperoleh dari tetangga di kampungnya, Indramayu, Jawa Barat, yang melahirkan sembilan bulan lalu. SM mengaku orang tua bayi itu tidak mampu sehingga si jabang bayi diajak hijrah ke Jakarta. "Mereka enggak mampu buat beli susu dan macam-macam, ya saya bawa bayinya ke sini,” kata dia.
SM menyangkal kalau dianggap menyewakan bayi. Dia lebih setuju kalau disebut membantu sesama teman pengemis asal Indramayu dan Cirebon. “Enggak lah, Mas itu kan dipinjemin. Duitnya juga lagian saya kirim ke orang tuanya di sana," tutur SM.
Dia mengaku aktivitas meminjamkan bayi baru dilakukan dua bulan ini. Pelanggannya tidak jauh dari teman dekat sesama pengemis asal Indramayu dan Cirebon. Suami SM adalah MM, yang juga pengemis dari Cirebon. Bila di luar dua daerah itu, SM enggan meminjamkan bayi adopsinya. “Kasihan lah, Mas. Mendingan ikut saya cari duit dari pada pinjemin yang lain dari Brebes, Jawa lain,” ujarnya agak lirih.
Soal tarif sewa, SM tidak mematok harga. Hanya, ia meminta ada kesadaran agar bayi yang dirawatnya itu tetap bisa minum susu. Tidak jauh tarifnya di kisaran Rp 30 ribu-Rp 40 ribu per hari. Kadang kalau lagi ramai, SM berani menagih uang sewa Rp 50 ribu per hari. Hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang semakin mahal. “Kita orang kecil. Ke Jakarta cuma cari makan. Bukannya minta-minta, tapi cuma ini yang kami bisa,” kata perempuan bertubuh gemuk itu dengan nada ketus.
*****
Berbeda dengan pengakuan SM, salah seorang pengemis asal Brebes, Eman, 42 tahun, yang juga tinggal di Kebon Singkong mengatakan SM sudah bertahun-tahun menyewakan bayi untuk pengemis lain di Kebon Singkong. Tapi, memang cara SM menyewakan juga rapi dan pilih-pilih.
Namun Eman membenarkan kalau bukan pengemis asal Indramayu atau Cirebon, SM tidak bakal mau menyewakan bayi. “Di sini, kita kurang dekat dan enggak akur. Kalau mereka kan gede duit dari bayi. Kalau kita yang Brebes ini dari orang tua kakek-kakek buta. Yah, saingan gitu, Mas,” ujarnya saat ditemui detikcom menjelang Lebaran lalu.
Eman menceritakan sebelum bayi laki-laki sekarang, anak kandung SM yang bontot, yaitu ZN, 4 tahun, sering disewakan SM untuk mengemis sampai umur dua tahun. Tapi, karena sudah besar, ZN sekarang lebih sering mengamen di perempatan lampu merah Klender dekat stasiun.
Ia juga mengungkapkan kalau bayi yang disewakan SM lagi berada di rumah pengemis lain karena sudah di-booking seminggu. “Ada itu di rumah yang lain. Saya tahu kok orang-orang sini,” kata pria berpeci ala tukang sate itu.
Ditanya soal sindikat koordinator penyewaan bayi, Eman mengaku kurang tahu. Tapi, kalau pengaturan pengemis orang buta ia mengetahui. Kata dia, biasanya kalau orang buta itu punya “asisten” yang mengatur penyetoran jatah ke preman setempat. Ia mengatakan urusan pengemis, bayi, dan orang buta itu ibarat celah yang menguntungkan buat disetor. “Saya tahu Mas karena sering nuntun dan sewa orang buta. Orang buta sama bayi itu gede duitnya. Makanya dilindungin. Habis itu anak-anak kecil yang duitnya gede,” ungkap Eman blak-blakan.
*****
Di salah satu pojok kolong jembatan layang Klender, detikcom menjumpai Sutinah saat sedang duduk sandaran dengan hanya beralaskan dua lembar koran bekas di salah satu pojok kolong jembatan.
Mengenakan daster warna hijau dan sandal jepit, seringkali ia menadahkan mangkuk plastik sebagai tempat menaruh duit hasil belas kasihan. Di dalam kain gendongan motif batiknya yang kusam, ada bayi mungil. Tidak ada senyum di wajahnya. Hanya diam dengan tatapan wajahnya sambil menyusui bayi yang berusia sekitar delapan bulan itu. Sesekali ia mengeluarkan suara iba bila ada orang yang melintas. “Pak, kasihanin. Sedekahnya sedikit aja,” kata perempuan berusia sekitar 40 tahun itu.
Menunggu waktu yang tepat agar bisa mengajak ngobrol Sutinah memang harus sabar. Barulah pukul 20.00 WIB ketika dia ingin pergi dan suasana agak sepi, detikcom mencoba menghampiri dengan memberikan makanan nasi bungkus serta sedikit uang. Sikapnya polos tapi terkesan hati-hati ketika berbicara dengan perempuan asal Brebes ini. Awalnya, ia menyangka detikcom adalah seorang petugas Kepolisian Pamong Praja yang sedang menyamar untuk menangkapnya.
Soal bayi yang digendongnya, ia mengakui kalau itu bukan anak kandungnya. Sutinah hanya menyebut bayi itu anak dari saudaranya yang juga pengemis di tempat lain. Sebagai uang terima kasih, ia setiap hari memberi setoran kepada saudaranya itu sebesar Rp 35 ribu. "Tapi kalau lagi dapat duit banyak saya kasih Rp 60 ribu sehari," ungkapnya.
Sutinah juga mengaku kalau dirinya sudah sering gonta ganti bayi. Kalau urusan mengemis, ia mengatakan bayi lucu dan cakep biasanya uang sewanya agak mahal, yakni bisa Rp 100 ribu sehari.
Dia juga merasa kapok kalau menyewa bayi dari orang lain yang bukan saudaranya. Selain uang sewa mahal, syaratnya juga agak ribet. Kalau bayi yang dibawa sakit karena kena hujan, Sutinah harus menanggung biaya obat atau cara lain menyetor minimal Rp 150 ribu.
Bila tidak dilakukan, jangan harap bisa mangkal di tempat favoritnya mengemis karena pasti dikejar dan ditagih terus. Tapi, kelebihan menyewa bayi sama “bos” pengemis yang senior bakal dikasih tempat yang banyak dan bebas memilih. Tapi, apesnya kalau lagi dapat duit banyak, selain biaya sewa juga harus nyetor wajib Rp 70 ribu sehari. Sementara, kalau menyewa bayi sama saudaranya, tidak terlalu banyak aturan. “Sama aja sih ya. Tergantung janji kita sama dia bagaimana. Cuma kan kalau saudara enggak bawel,” ujarnya.
(brn/brn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini