Bagaimana idealnya suatu trotoar ini seperti dijelaskan oleh Koordinator Koalisi Pejalan Kaki Alfred Sitorus. Yakni trotoar itu harus layak dan ramah dilalui manusia, terutama bagi para penyandang disabilitas.
Lantas Alfred mencontohkan bagaimana trotoar yang masuk kategori ideal itu. Alfred menyebut trotoar di jalur protokol seperti yang ada di kawasan Sudirman–Thamrin, yang membentang dari wilayah Jakarta Selatan hingga ke Jakarta Pusat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ubin pengarah itu terbuat dari ubin berukuran 30x30 sentimeter dan mempunyai tonjolan di permukaannya. Tonjolan yang terdiri dari dua bentuk yakni kotak persegi dan bulat itulah yang jadi penunjuk jalan bagi penyandang disabilitas. “Kalau persegi artinya jalan terus sementara bentuk bulat itu berarti stop, artinya di sana ada lampu lalulintas atau itu adalah ujung trotoar,” kata Alfred menjelaskan.
Pembangunan ubin pengarah itu baru dilakukan pada tahun lalu oleh Dinas Pertamanan DKI Jakarta. Kepala Seksi Jalur Hijau Jalan (Plh) Dinas Pertamanan DKI Jakarta, Sumardiono, mengatakan program pembangunan ubin pengarah itu masih belum selesai. “Tahun lalu kita bangun satu lajur yakni yang di sisi barat, tahun ini dilajutkan di sisi timur sepanjang Sudirman–Thamrin,” kata dia saat ditemui detikcom di kantornya Selasa (30/7).
Agar lebih nyaman lagi, pembangunan trotoar dengan konsep pedestrian ideal juga sedang dilakukan saat ini antara lain Jalan Merdeka Selatan-Merdeka Barat, kawasan Jalan Sabang, Jalan Kebon Sirih, Jalan Harmoni-Kota sisi barat-timur, serta Cikini.
“Kita menatanya dengan memperlebar trotoar dari yang tadinya 1,5 meter menjadi 2-3 meter. Kita juga buat sarana untuk penyandang cacat. Tapi memang itu belum di semua (trotoar) ada,” kata Sumardiono.
Kepala Bidang Pemeliharaan Jalan dan Jembatan Dinas Pekerjaan Umum Provinsi DKI Jakarta, Juaini membenarkan saat ini jumlah trotoar di Jakarta masih krisis. Di beberapa tempat malah ada trotoarnya hanya seadanya, bahkan tak sampai satu meter lebarnya, seperti di daerah Warung Buncit hingga ke Pejaten Village, di wilayah Jakarta Selatan.
“Idealnya memang seperti yang di Thamrin– Sudirman itu, lebarnya 3-5 meter. Tapi kan enggak bisa semuanya seperti itu karena melihat kondisi trase jalannya,” kata dia kepada Detik saat ditemui di kantornya Selasa (30/7). Juaini mengaku pihaknya hanya dapat melakukan pemeliharaan pada trotoar yang rusak dan berlobang, namun sulit untuk melakukan pelebaran. “Pelebaran di kanan dan kiri ya susah karena tambah anggaran lagi."

Menurutnya trotoar banyak yang hanya bertahan tak sampai 2 tahun dari umur sebenarnya sekitar 5-10 tahun. Pasalnya, trotoar yang semestinya untuk pejalan kaki diserobot pemotor dan jadi lahan parkir mobil maupun area jualan para PKL.
“Karena trotoar itu kan sebenarnya untuk pejalan kaki, kita buat standarnya untuk pejalan kaki tapi kalau dipaksakan dilalui kendaraan mobil dan motor ya jadi enggak kuat,” kata Juaini mengeluhkan.
Pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, menyoroti trotoar yang ada di kawasan pusat keramaian harus disediakan lebih lebar dan memadai sebab tingginya volume aktifitas masyarakat.
"Seperti pusat keramaiaan kayak Tanah Abang dan lainnya itu, trotoar itu harus disediakan lebih lebar karena banyak orang yang berlalu-lalang," ujarnya saat dimintai pandangannya oleh detikcom Rabu (31/7).
(brn/brn)