Selepas terdengar kumandang azan Isya ketika sebagian orang berbondong-bondang menyambangi masjid-masjid untuk melaksanakan salat tarawih, tak lama berselang dari balik tembok sepanjang ruas jalan muncul sejumlah wanita remaja berdandan molek.
Sejurus kemudian dengan laga centil mereka menggoda setiap pengendara mobil serta sepeda motor yang lewat Jalan Raya Bekasi Timur menuju arah Pondok Kopi, Jakarta Timur. Lambaian tangan hingga bersiul menjadi kode untuk menarik perhatian. Salah satu yang mejeng adalah Neneng, 16. Wajah anak baru gede alias ABG yang mengaku dari Indramayu ini terus mengumbar senyum. Seringkali ia juga meladeni ledekan nakal para remaja laki-laki yang sembari lewat meneriakinya karena rok pendek serta kaos putih ketatnya yang membetot bola mata kaum Adam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Biasanya, penjual buah berbau tajam itu rutin hadir di ruas jalan bersamaan sejumlah pelacur jalanan. Tambahan lain kini ada tiga tenda untuk pijat urut refleksi di sepanjang ruas jalan. Terlihat tiga tenda ini terkesan dipaksakan karena hanya mengandalkan kain gelap serta terpal di masing-masing sisinya. “Sepi Bang yang mau dipijit. Mungkin bulan puasa dan malas parkir di jalan kali. Lagian kotor dilihat soalnya sebelah sana kan masih ada galian saluran air,” kata Neneng saat ditemui detikcom tadi malam.
Meski mengakui tidak punya keahlian memijat, Neneng mengaku siap kalau ada klien yang ingin dipijat. Lagian, katanya, soal urusan pijat proses belajarnya bisa berjalan. Lagi pula cara ini juga buat menutup pendapatan yang agak berkurang di bulan Ramadan. Untuk tarif pijatnya sendiri, sebenarnya ia tidak mematok tarif. Tapi, biasanya tips dari pelanggan berkisar Rp 50 ribu–Rp 70 ribu per jam.
Adapun untuk layanan seks di bulan puasa diakuinya agak berkurang. Biasa sebelumnya dalam semalam bisa menggaet tiga tamu, tapi sekarang cuma satu bahkan kadang tidak sama sekali. Kalau lagi beruntung biasanya saat Sabtu malam bisa dapat dua atau tiga lelaki hidung belang.
Setiap malam, Neneng harus bersaing dengan belasan pemuas berahi lainnya. Belum lagi kehadiran waria yang menjadi pesaingnya. Sementara di seberang jalan, beberapa pelacur usia senior tidak mau kalah bersaing dengan juniornya. “Mau enggak mau andelin pijit di bulan puasa. Bodo amat deh enggak jago juga,” ujar Neneng menyerocos.
*****
Pengakuan Neneng diamini oleh salah seorang joki sekaligus tukang ojek pelacur setempat, Ateng, 35. Pria asal Garut ini menuturkan hampir setiap tahun di bulan Ramadan, klien penjaja cinta menurun. Penyebab pertama karena takut kena razia dadakan oleh aparat Satuan Polisi Pamong Praja. Pasalnya, hampir setiap Ramadan, Satpol PP selalu menggelar razia dadakan. Persoalan ini tentu berpengaruh terhadap pemasukannya dari jasa mengantar.
Tugas Ateng sendiri yaitu meyakinkan para hidung belang dan mengantar sang kupu-kupu malam ke lokasi kencan sesuai kesepakatan. Biasanya lokasi yang disepakati antara lain penginapan atau losmen, hotel melati sampai tempat biliar. Soal tarif layanan seks di bulan Ramadan, tergantung negosiasi.
Ateng mengungkapkan setiap kali ‘main’ tidak jauh dari Rp 200 ribu sampai Rp 400 ribu per satu jam tergantung kliennya. Biasanya tamunya tidak jauh dari anak remaja tongkrongan, mahasiswa, sampai pengendara sepeda motor yang melintas. Tapi, kalau yang sudah langganan di kasih diskon. “Kalau puasa paling banter saya dapet pekgo (Rp 150 ribu) sehari. Tapi, sebelum puasa atau malam Minggu ya bisa tiga setengah (Rp 350 ribu,” kata pria beranak satu ini.
Ateng menceritakan sistem mangkal pelacur belia biasanya bergantian setiap malam. Beda dengan pengaturan jadwal waria. Katanya, ada koordinator yang mengatur jadwal. Jam operasi mangkal sendiri saat bulan puasa mulai sekitar pukul 19.00–02.00 WIB. Beda kalau bukan bulan puasa dari pukul 18.00–04.00 WIB. Biasanya setiap malam mangkal 12 hingga 14 perempuan nakal. Para pelacur ABG ini umumnya berasal dari Indramayu, Karawang, Bogor, dan Bekasi. Mereka punya tempat tinggal khusus yang dikontrak oleh koordinator. “Selama di sini, ada rumah yang dikontrak. Ada deh tempatnya,” ujar Ateng menutupi.
Kawasan Cipinang dan juga Jatinegara hanya salah satu dari sekian banyak bertaburannya lokasi-lokasi lain pelacuran pinggir jalan di ibu kota. "Neneng-Neneng" dan juga "Ateng-Ateng" lain saat Ramadan seperti sekarang ini sangat mudah ditemui di antaranya di sepanjang Jalan Hayam Wuruk Jakarta Barat, Jalan Daan Mogot Jakarta Barat, kawasan Mangga Besar Jakarta Barat, kawasan Blok M Jakarta Selatan, dan seputar Kemayoran Jakarta Pusat.
*****
Keberadaan prostitusi yang tidak juga istirahat di bulan Ramadan tak dipungkiri membuat masyarakat setempat malu. Salah seorang warga Kelurahan Cipinang, Rangga Utomo, 33, merasa sedih karena aparat berwenang belum serius membenahi persoalan pelacuran. “Iya lihat saja. Setiap malam ABG-ABG montong mangkal. Malu gue tinggal di sini. Ada waria juga lagi. Tapi ya mau bagaimana lagi," katanya seraya menggerutu saat ditemui detikcom tadi malam.
Begitu juga dengan warga lainnya Putri, 22. Menurut mahasiswi ini, memang pengelola dan pelacur yang mangkal mulai pintu perbatasan rel kereta sampai halte depan Lapas Cipinang bandel dan tidak pernah kapok. Meski pernah dirazia Satpol PP dan Kepolisian Resor Jakarta Timur, tapi tetap saja beraksi kembali kalau sudah bebas.
Seharusnya, kata dia, untuk mensterilkan daerah itu minimal ada satu atau dua petugas yang berjaga. Kalau seperti itu mungkin pelacur yang mau mangkal bakal mikir-mikir karena takut dirazia. “Mungkin coba ditaruh petugas yang piket. Atau ada kantor polisi yang bisa monitor,” kata perempuan bertubuh gempal ini.
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja DKI, Kukuh Hadi Santoso, mengakui lokalisasi prostitusi di dekat sebelah Stasiun Jatinegara sampai depan Lapas Cipinang paling bandel dan sulit ditertibkan. Menurutnya, Satpol PP Jakarta Timur sering melakukan razia dadakan termasuk bulan Ramadan. Ia mengatakan beberapa hari sebelum puasa, daerah itu sudah dirazia. Namun, sepertinya info itu sudah bocor jadi yang ditangkap hanya sedikit waria dan pekerja seks komersial. Sedangkan, yang lainnya sengaja tidak mangkal karena tahu bakal ada razia.
Pascasehari setelah razia, para pelacur justru kembali mangkal. Bahkan, pelacur yang sudah bebas dari panti sosial tidak pernah jera dan tetap balik ke prostitusi di jalanan. "Kami juga sering kucing-kucingan sama mereka. Apalagi waria. Susah mereka itu. Area di situ juga buat mereka gampang sembunyi kalau ada razia," kata Kukuh saat dikonfirmasi detikcom.
Ironisnya, Kukuh mengungkapkan persoalan prostitusi di Cipinang bukan sepi tapi malah bertambah. Bahkan di bulan puasa bukannya takut malah tetap mangkal. Kukuh pun berjanji akan berkoordinasi dengan pihak Satpol PP Jakarta Timur untuk menyiapkan cara tersendiri guna menertibkan daerah prostitusi itu. "Nanti kami atur lagi. Kami juga capek lihatnya udah lama itu," ujarnya sembari menghela nafas.
(brn/brn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini