"Jadi dulu ada Provost polisi namanya Pak Sugeng yang kasih dia seragam, awalnya Bang Dedi hanya mondar-mandir di sekitar sini saja tapi dia nggak mau jadi tukang minta-minta. Sama Pak Sugeng dilatih atur jalan terus dikasihlah itu seragam," tutur pedagang kelontong, Hairil (61) kepada detikcom, Kamis (25/7/2013).
Hairil yang berdagang sejak tahun 1978 di lokasi itu menceritakan bahwa awalnya Bang Dedi tidak berani sampai ke jalan besar. Bang Dedi hanya membantu atur parkir jika ada warga yang punya hajat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Itu tahun '92 dapet baju polisinya, awalnya dia merangkak saja dari rumahnya ke pertigaan itu.
Sekitar 2 atau 3 tahun setelah itu ada dokter yang iba lalu kasih dia kursi roda, akhirnya pakai kursi roda dia. Nah pas di atas tahun 2000-an ada orang pabrik roti kasih dia motor Cina merek Sanex, tapi nggak lama langsung rusak. Kalau motor dia yang ini kayaknya dia beli sendiri pakai tabungannya," ujar Hairil yang berusaha mengingat-ngingat secara detil.
Siang itu Bang Dedi nampak berteduh dalam bayangan gapura. Ia mengibas-ngibaskan topinya karena kepanasan. Beberapa menit bersantai, Ia merogoh kantongnya dan mengeluarkan ponsel Nokia edisi lama dan terlihat menjawab sebuah panggilan. Bagaimana bisa seorang bisu berbincang di telepon?
"Mungkin itu istrinya yang menelepon," tebak Hairil. "Ia tinggal bersama Ibu dan Istrinya di Jl. Gotong Royong 7, tidak jauh dari sini," tambahnya.
Bang Dedi segera menyalakan motornya dan beranjak meninggalkan posnya saat matahari tepat di atas kepala. Di perjalanan menuju rumahnya yang berjarak 500 meter dari situ, hampir setiap orang menyapa Bang Dedi dengan senyuman ramah.
Memasuki gang sempit, motor Bang Dedi terlihat memenuhi gang itu. Di rumah pada ujung gang ia berhenti dan disambut hangat orang-orang yang berada di sekitar situ. Tampak kemudian seorang wanita paruh baya dengan luka bakar di tubuhnya membantu Bang Dedi memarkir motornya. Ia adalah istri Bang Dedi.
(gah/gah)