Tampak seseorang berbaju petugas seorang diri berdiri hanya dengan dengkulnya di tengah pertigaan yang menjadi muara warga Kompleks Gotong Royong Residence, Kompleks DKI Joglo, dan Asrama Polri/Polda Larangan menuju tempat kerja mereka.
"Hauuu..hauuu..oop..hauuu," teriak petugas itu yang rupanya selain tuna daksa juga bisu sambil memberi isyarat tangan mengatur lalu lintas Jl. Raya Ciledug, Tangerang, Kamis (25/7/2013).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dari tahun 90-an dia begitu, mengatur lalu-lintas tapi tidak seperti tukang parkir yang minta duit, memang jiwanya jiwa melayani jadi ikhlas saja walaupun tidak ada yang kasih duit," ujar seorang pedagang kelontong, Hairil (61) yang telah berjualan di pertigaan tersebut sejak tahun 1978.
Menurut Haidir, Bang Dedi lebih memilih mendedikasikan dirinya sebagai pengatur lalu-lintas ketimbang menjadi pengemis walaupun memiliki keterbatasan fisik. Sesekali ada orang yang memberikan uang, tetapi seringkali dedikasinya hanya dibalas senyuman.
"Dia memang bisu, tapi bisa pakai isyarat kalau lagi ngatur jalan, biasanya dia paling sebel kalau ada kendaraan yang berhenti seenaknya dan membuat macet," tuturnya.
Tak lama kemudian sebuah angkot berwarna putih jurusan Ciledug - Kebayoran Lama ngetem di mulut gang dan membuat kendaraan dari dalam gang tidak bisa keluar. Tiba-tiba "Dukk!" Bang Dedi mengayunkan pentunganya ke badan angkot lalu menegur si sopir untuk lekas jalan.
Alih-alih langsung beranjak, si sopir malah meledek Bang Dedi sebelum tancap gas. Bang Dedi bergegas merangkak ke sebuah motor roda tiga bertuliskan 'Polisi' dan mengejar angkot tersebut.
"Dikejar itu angkotnya, biasanya mau dimarahin karena bikin macet. Dulu juga pernah ada Metro Mini serempetan juga dia kejar. Nggak takut dia soalnya pakai seragam polisi, jadi merasa punya kewajiban untuk nertibin," terang Hairil.
(bpn/gah)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini