"Kami di Banten sudah pada tahapan lebih dari prihatin (atas politik dinasti), serba salah. Yang paling sempurna politik dinasti ya di Banten semua orang mungkin harus 'berguru' ke Banten," kata anggota DPD RI Ahmad Subadri dalam diskusi DPD bertema 'Fenomena Politik Dinasti' di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (24/7/2013).
Ia menjabarkan bagaimana kekuatan dinasti itu dibangun mulai dari jabatan gubernur, bupati, walikota hingga anggota DPRD dan ketua kepemudaan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi success story politik dinasti memang di Banten," ucap mantan cagub Tangerang itu.
Menurut Ahmad, politik dinasti ini terjadi karena begitu besarnya potensi kekuatan untuk menguasai Banten. Hal lainnya karena masyarakat acuh tak acuh dengan kondisi pemerintahan yang ada.
"Buat mereka bupati baik atau tidak itu biasa saja. Toh kepentingannya dengan pemerintah hanya pada saat mengurus KTP, praktis nggak ada hubungan lain dengan pemerintah. Paling adapun kebutuhan pun dengan uang beres," tuturnya.
Ahmad menilai yang membahayakan dari politik dinasti bukan saja soal kekuasaan, tapi cara-cara penggunaan uang negara untuk kepentingan pribadi.
"Bagaimana membangun kekuatan ini bisa didapat dengan kapitalisasi APBN atau APBD. Adanya otonom baru juga untuk mengembangkan politik dinasti," ucapnya.
"Dan politik dinasti yang bahaya sekarang cenderung menutup kesempatan (orang lain memimpin), kalaupun terbuka kecil," imbuh Ahmad.
Karenanya menurut Ahmad, politik dinasti bukan soal fakta konstitusi, tapi soal fakta empirik adanya kekuasan di satu wilayah yang dipegang oleh satu keluarga besar.
"Kalau bicara salah benar ada dari konstitusi. Tapi kita ingin bicara baik buruk, ini soal hikmah," kata Ahmad.
"Praktek politik dinasti di Banten itu sudah sangat canggih. Dulu orang nggak suka diintimadasi, tapi sekarang dengan cara difasilitasi. Orang punya pesantren dibantu dengan dana bansos, maka dia yang tadinya soroti perempuan nggak boleh memimpin ya selesai," lanjutnya.
(iqb/van)