5 Kisah MA Salah Ketik yang Bikin Geger

5 Kisah MA Salah Ketik yang Bikin Geger

- detikNews
Selasa, 23 Jul 2013 09:10 WIB
5 Kisah MA Salah Ketik yang Bikin Geger
Jakarta - Salah ketik tidak cuma fatal, tetapi juga bisa bikin geger. Apalagi salah ketik di putusan Mahkamah Agung (MA) yang sudah terjadi beberapa kali.

MA berdalih salah ketik sebagai ulah dari keteledoran bagian administrasi. 'Kebiasaan' salah ketik MA ini juga menjadi batu sandungan dalam melakukan eksekusi terpidana dan ganti rugi.

Berikut 5 kisah MA salah ketik yang bikin geger:

1. Supersemar

MA melakukan kesalahan ketik dalam putusan kasasi kasus Yayasan Supersemar dari yang seharusnya Rp 185 miliar menjadi Rp 185 juta.

Seperti tertuang dalam berkas kasasi nomor 2896 K/Pdt/2009, Negara Republik Indonesia menggugat Yayasan Supersemar dan Soeharto yang diwakili ahli warisnynya.

Negara Republik Indonesia yang diwakili Kejaksaan Agung (Kejagung) menggugat Yayasan Supersemar yang diketuai oleh Soeharto telah melakukan perbuatan melawan hukum, yaitu lewat Peraturan Pemerintah (PP) No 15/1976 menentukan 50 persen dari 5 persen dari sisa bersih laba bank negara disetor ke Yayasan Supersemar.

Bermodal PP ini, Yayasan Supersemar sejak 1976 hingga Soeharto lengser, mendapatkan uang sebesar USD 420 ribu dan Rp 185 miliar.

Dalam perjalanannya dana tersebut yang seharusnya untuk membiayai dana pendidikan rakyat Indonesia diselewengkan.

Pada 27 Maret 2008, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) mengabulkan gugatan Kejagung dan menghukum Yayasan Supersemar membayar ganti rugi kepada Negara republik Indonesia sebesar USD 105 juta dan Rp 46 miliar. PN Jaksel menyatakan Yayasan Supersemar telah melakukan perbuatan melawan hukum.

Putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta pada 19 Februari 2009. Nah di tingkat kasasi, putusan ini diperbaiki namun terjadi kesalahan ketik.

"Menghukum Yayasan Supersemar membayar kepada Penggugat 75 persen x USD 420 ribu = USD 315 ribu dan 75 persen x Rp 185.918.904 = Rp 139.229.178," putus MA yang diketuai oleh Dr Harifin Tumpa dengan anggota Rehngena Purba dan Dirwoto.

Dalam putusan yang diketok pada 28 Oktober 2010 itu, seharusnya nilai 75 persen x Rp 185 miliar. Angka Rp 185 miliar itu sesuai dengan tuntutan Kejagung. Entah kenapa, Rp 185 miliar ini berubah menjadi Rp 185 juta dan hasil akhirnya denda yang seharusnya Rp 138 miliar menjadi Rp 138 juta.

"Ada salah ketik. Seharusnya Rp 138 miliar karena tidak terketik tiga angka nol menjadi Rp 138 juta," kata Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun), ST Burhanuddin kepada wartawan di kantornya, Jumat (19/7/2013) sore ini.

MA mengakui terjadi kesalahan dalam putusan Republik Indonesia vs Yayasan Supersemar. Gara-gara 'salah ketik' ini, negara tidak bisa mengeksekusi denda Yayasan Supersemar sebesar USD 315 ribu dan Rp 139 miliar.

"Ini karena adanya kesalahan pengetikan. Sudah ada pengakuan kesalahan dari kepaniteraan," kata Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur saat berbincang dengan detikcom, Senin (22/7/2013).

MA menjamin bahwa kesalahan ini murni karena keteledoran bagian administrasi. Sebab dari 108 halaman, kesalahan hanya ada ada di halaman 107 yang berisi amar putusan.

"Setelah diketik, lalu diketahui ada kesalahan dan rencananya akan direnvoi (diganti dengan putusan baru). Ini sudah diberitahukan ke majelisnya namun majelisnya keburu pensiun sehingga tidak sempat lagi diperbaiki," papar Ridwan.

Namun nasi telah menjadi bubur. Gara-gara salah ketik ini, vonis bernilai triliunan ini tidak bisa dieksekusi.

"Kami sudah memberitahukan kesalahan ini ke para pihak. Tinggal mengajukan PK," pungkas Ridwan.

Dalam gugatannya, Kejaksaan Agung menggugat Yayasan Supersemar untuk mengembalikan USD 420 ribu dan Rp 185 miliar. Namun dalam amar putusan, majelis hakim yang terdiri dari Harifin Tumpa, Dirwoto dan Rehngena Purba menghukum Yayasan Supersemar mengembalikan 75 persen dari USD 420 ribu dan 75 persen dari Rp 185 juta.

2. Putusan Bertahun 2020

MA melakukan salah ketik putusan di direktori resmi MA. Salah ketik itu terjadi dalam putusan perkara utang piutang dengan pihak Agustinus Iramani vs Arie Yudhi Sadono, yang disebut bertahun 2020.

Perkara Nomor 128 K/PDT/2008 dengan hakim ketua Imron Anwari dan hakim anggota Timur P Manurung dan Hakim Nyak Pha. Namun, ketika dicek isi salinan putusan, perkara tersebut telah di vonis 2008 lalu.

"Tanggal Musyawarah 03 Januari 2020, Tanggal Dibacakan 03 Januari 2020," bunyi putusan tersebut seperti dikutip detikcom dari situs resmi MA, Kamis (18/8/2011).

Kesalahan juga didapati di Putusan MA Nomor 4/B/PK/PJK/2004 Tahun 2004. Perkara antara Direktur Jenderal Pajak melawan PT Amindoway Jaya Cabang Medan diputus dalam musyawarah 15 Juni 2006. Namun, dibacakan putusan pada 2020.

"Tanggal dibacakan 15 Juni 2020, " tulis MA.

Menanggapi masalah ini, Panitera MA Suhadi, mengakui ada kesalahan pengetikan. Pihaknya akan segera mengoreksi direktori putusan tersebut.

"Terimakasih, akan kami koreksi," kata Suhadi dalam pesan pendeknya kepada wartawan.

3. Mutasi Hakim

MA membantah ada nama yang hilang dari daftar mutasi hakim. Padahal dalam berkas yang didapat detikcom, terjadi selisih jumlah nama yang dilansir pada 25 Oktober 2012 dengan yang dilansir hari ini.

"Nggak mungkin hilang begitu saja. Mungkin salah ketik kali, nomor urut saja," kata Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur kepada wartawan di gedung MA, Jalan Medan Merdeka Utara, Jumat (9/11/2012).

Menurut Ridwan, tidak mungkin terjadi perubahan nama sebab akan berdampak sistemik. Apalagi sudah saatnya ratusan hakim dirotasi ke berbagai daerah.

"Kalau hilang kan orangnya protes, ketua pengadilannya protes. Apalagi kalau dia ditempatkan. Ratusan orang itu memang orang yang sudah waktunya pindah. Tapi kalau hilang satu mungkin kesalahan pengetikan saja," beber Ridwan.

Dalam berkas yang mutasi yang dilansir 25 Oktober 2012 dini hari terdapat 239 nama hakim yang dimutasi oleh MA. Hasil mutasi 239 nama ini diputus oleh rapat pimpinan MA pada 24 Oktober 2012. Rapat ini berjalan hingga tengah malam dan hasil 239 nama tersebut langsung diumumkan dalam situs MA.

Anehnya, dalam lansiran website MA terbaru, Jumat (9/11/2012), 239 nama tersebut berubah menjadi 238 nama. Dalam daftar 238 nama tersebut tertulis judul 'HASIL TPM TANGGAL 24 OKTOBER 2012'.

4. Kasus Widjanarko

MA mengakui ada kesalahan dalam berkas putusan kasasi kasus Widjanarko dan Widjokongko. Tetapi kesalahan pengetikan tanggal bukanlah masalah penting.

"Itu nggak masalah sejauh bukan substansinya," kata Kepala Biro Hukum dan Humas MA Nurhadi di kantornya, Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Rabu (20/8/2008).

Nurhadi mencontohkan salah ketik bisa menjadi masalah bila terjadi di lama hukumannya. "Seperti hukumannya (sebenarnya) segini, (lalu) tiba-tiba bebas, nah itu baru masalah," jelasnya.

Salinan putusan di website putusan.net, menurut Nurhadi, sudah benar. Mekanismenya, panitera muda langsung diteruskan ke panitera.

"Itu kenapa bisa ada yang ada di .net. Itu dari panitera muda langsung ke panitera. Langsung dinaikkan ke .net," terangnya.

Dalam salinan putusan yang ada di putusan.net, tertulis putusan kasasi dikeluarkan Rabu tanggal 13 Mei 2008. Padahal putusan banding dikeluarkan pengadilan tinggi pada 4 Juni 2008.

"Setelah dihubungkan dengan akte kasasi 2008 itu tidak mungkin," ralatnya.

Menurut Nurhadi, tanggal yang benar seharusnya Rabu, 13 Agustus 2008. "Kesalahannya di bulan. Seharusnya bulan Agustus bukan bulan Mei. Dicari sampai kiamat pun tidak ada hari Rabu tanggal 13 bulan Mei," selorohnya.

5. Putusan Sumita Tobing

MA menegaskan kesimpangsiuran putusan MA terkait kasus mantan Dirut TVRI, Sumita Tobing, disebabkan oleh kesalahan pemasukan data ke dalam website MA. MA meminta polemik itu dihentikan.

"Apa yang terjadi bukan munculnya dua putusan terhadap satu perkara yang sama. Namun karena adanya kesalahan administrasi dalam proses data entry," kata Kabiro Hukum dan Humas, Nurhadi, dalan press release yang ditampilkan dalam situs resmi MA, Jumat (14/1/2010).

Menurut dia, secara substansi putusan atas perkara Sumita Tobing tidak kontradiktif. "Karena memang hanya ada satu putusan," ujar dia.

Nurhadi menjelaskan apabila satu perkara belum diputus dalam satu tahun maka akan masuk ke dalam Tim Kikis. Tim inilah yang akan membentuk majelis hakim untuk perkara yang dimaksud.

"MA sudah menetapkan perkara Sumita Tobing dengan anggota majelis hakim pada 31 Juli 2009 dengan ketua majelis Mansyur Kertayasa. Namun setelah satu tahun, belum juga ada keputusan sehingga masuk Tim Kikis. Tim inilah yang membentuk majelis hakim baru dengan ketua Artidjo Alkotsar pada 16 Agustus 2010," papar Nurhadi.

Majelis hakim inilah yang memutus Sumita Tobing dengan hukuman penjara 1 tahun 6 bulan pada 6 Januari 2011. "Kami minta polemik ini disudahi," kata Nurhadi.

MA mengabulkan permohonan jaksa untuk mengganjar Sumita dengan pidana penjara 1,5 tahun pada Kamis 6 Januari 2011.

Lewat kasasinya, MA mengabulkan permohonan jaksa untuk mengganjar terpidana korupsi senilai Rp 5,2 miliar ini. MA menilai PN Jakarta Pusat yang memutus bebas Sumita salah menerapkan hukum. MA menilai adanya penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan terdakwa yaitu terdakwa tidak berwenang menunjuk Hendro Utomo sebagai ketua lelang. Sehingga melanggar SK Menkeu No 501/MK 01/IP II/2001 tanggal 27 September 2001.

Atas putusan MA itu, Sumita mengaku bingung. Sebab, MA sebelumnya pernah menyebut kasasi Jaksa sudah ditolak.

Sumita menuturkan, sekitar bulan Oktober 2009, ia pernah membaca artikel yang menulis MA sudah menolak kasasi jaksa. Majelis hakim yang memutuskan adalah Andi Ayyub Abu Saleh, Djafni Djamal dan Muhammad Taufik. "Perkara itu diputus pada 28 Agustus 2009," ujar Sumita.
Halaman 2 dari 6
(aan/nrl)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads