Kepada detikcom, Rabu (17/7/2013) saat ditemui di rumahnya, pria 50 tahun itu mengaku sudah terjun ke dunia layar tancap sejak 1973. Bahkan ia sudah mengerti bagaimana cara mengambil, mengantar, hingga memutar film sejak kelas 2 SD. Janim mengaku dulu hanya ikut-ikut teman hingga akhirnya pada 2005 memiliki peralatan layar tancap sendiri.
Bisnis layar tancap yang dijalaninya mencapai masa puncak di tahun 1995-an. Dalam sebulan ia bisa mendapat tawaran hingga lebih dari tujuh kali terutama ketika acara merayakan proklamasi kemerdekaan setiap 17 Agustus atau jelang lebaran haji.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sekali-sekalinya dirubuhin warga sekitar tahun '80-an, ya akhirnya didiriin lagi pakai bambu. Setelah main filmnya baru deh pada diam. Dulu mah masih pada rese, film berantem ikut berantem nanti larinya ke proyektor," ujarnya ceplas-ceplos.
Bapak satu anak itu menuturkan, kini para penonton layar tancap tidak seperti dulu, lebih teratur dan bersikap sewajarnya. Oleh sebab itu, ia merasa lebih senang saat menggelar layar tancap pada masa sekarang ini.
Namun jika berbicara soal penghasilan, pria yang pernah bekerja di pabrik obat-obatan itu mengaku lebih untung saat dibayar Rp 35 ribu zaman dulu daripada disewa hingga jutaan rupiah seperti sekarang.
"Mendingan dulu, dulu uang Rp 35 ribu sudah gede nggak habis buat seminggu. Sekarang jumlahnya doang gede tapi berasa nggak ada uangnya. Habis buat sewa mobil, film, sisanya buat bayar anak buah dua, rokok, bensin," ujarnya sambil menghela napas.
(aln/ndr)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini