Budri (62), sopir Mikrolet M 15 jurusan Tanjung Priok-Kota/Mangga Dua, tak bisa membayangkan apa jadinya bila Mikrolet yang dikemudikannya tak melewati jalan besar.
"Pemerintah boleh-boleh saja bikin kebijakan ya kan hak mereka sebagai pemerintah. Tapi misal kebijakan ini jadi kita ditaruh di mana? Perhatikan dululah trayeknya. Saya tiap hari lewat Jalan RE Martadinata, jalan besar kan? Terus nanti mau dipindah ke mana?" kata Budri kepada detikcom, Senin (15/7/2013).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Waktu lewat jalan kecil bikin macet perkampungan. Udah gitu nanti ganggu pejalan kaki dan aktivitas warga," tutur Budri.
Apa yang diresahkan Budri, juga dirasakan Nurdin (47), sopir Koperasi Wahana Kalpika (KWK) 08, jurusan Tanjung Priok - Semper. Nurdin tak setuju atas rencana Pemprov DKI itu.
"Lho kalau saya nggak boleh lewat jalan besar terus ke Sempernya lewat mana? Dari terminal ke Semper pasti lewat jalan besar dulu. Pastinya saya nggak setuju," tutur dia.
Rute yang dilaluinya tak ada jalan kecil melalui pemukiman warga. Bila angkot diizinkan melalui pemukiman, maka bukan hanya sopir angkot yang rugi, namun juga penumpang.
"Penumpang waktu dia di kampung di jalan kecil mau ke jalan besar naik angkot. Di jalan besar ke tempat tujuan mereka naik bus sedang yang disediakan pemerintah, bayar lagi. Bayar dua kali kan? Pemerintah mikirin penumpang jugalah, jangan cuma ingin menanggulangi kemacetan tapi perhatikan juga yang lain," kata dia.
(nwk/nrl)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini