Di kala Pemerintah DKI Jakarta tengah sibuk mengelola pasar tradisional, pedagang sayur keliling justru menghadirkannya ke tengah warga. Pekerjaan yang seringkali dipandang sebelah mata, namun kehadirannya selalu dinanti.
"Saya lebih suka jalan, bisa ketemu dengan banyak orang," kata seorang pedagang sayur keliling, Taulani (54) saat diwawancarai detikcom, Selasa (9/7/2013).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sedikit demi sedikit isi gerobak itu berkurang. Pembeli datang silih berganti dari penduduk yang tinggal di dekat lokasi, hingga yang kebetulan lewat dan sekedar menanyakan, "Gurame ada , Pak?","Tahunya masih ada?", "Tauge masih?", dan lain sebagainya.
Tidak terasa waktu bergulir menunjukan pukul 09.30 Wib. Sang surya mulai terasa teriknya dan Taulani sudah tidak tampak menjajakan daganganya. Merapikan gerobaknya dan mulai bergegas untuk keliling, Taulani memulai ceritanya.
"Tahun '78 saya ke sini (Jakarta), pertamanya di Pasar Minggu. Di Pasar Minggu juga jualan sayur keliling gini," tuturnya sambil mendorong gerobak.
Ia bercerita kisah awalnya berjualan sayur dengan modal yang kecil yang diawali dengan menjual kangkung dan bayam, dari keuntungan yang dikumpulkan lalu ditambahkan ayam dan ikan dalam dagangannya. Kawasan Pasar Minggu yang ramai dan banyak pula pedagang sayur membuatnya berpikir untuk berhijrah.
"Tahun '83 saya pindah ke sini (Larangan). Masih sepi banget di sini, tidak seperti sekarang ini. Waktu itu juga belum punya langganan jadi ya harus berjuang dari nol," tambahnya.
Keuntungan berjualan sayur tidak besar jika dibandingkan pedagang di pasar. Menurutnya pedagang pasar dapat menjual sayuran dengan selisih harga yang signifikan setelah membelinya dari distributor. Sedangkan pedagang sayur keliling hanya bisa memberi selisih seribu hingga dua ribu rupiah dibanding harga pasar tempat ia membeli barang dagangan.
"Keuntungannya memang tidak besar, tapi saya bisa sekolahkan anak saya hingga lulus kuliah di Jurusan Peternakan UGM," kenangnya dengan senyum bangga.
(bpn/gah)