'Geredja Protestan Tugu. Anno 1748', demikian bunyi papan itu menyambut di depan gereja tua di Kampung Tugu, Semper Barat, Koja, Jakarta Utara. Dulu, musik keroncong selalu mengalun di dalam gereja mengiringi ibadah.
Bangunan gereja ini berukuran sekitar 20x12x8 meter, bergaya Portugis. Di depannya ada teras dengan 4 tiang penyangga yang dikelilingi kayu berwarna cokelat, dengan lantai keramik merah marun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gereja Tugu (Foto: Rina Atriana/detikcom)
"Keroncong dimainkan di Tugu untuk mengiringi ibadah di gereja, selain itu untuk hiburan dan untuk upacara pernikahan juga," ucap Arthur J Michiels, seorang warga Tugu yang mendapat cerita turun temurun dari keluarganya, saat ditemui detikcom di rumahnya.
Arthur menuturkan, gereja yang sudah menjadi cagar budaya DKI itu dibangun pendeta bernama Melchior Leydecker pada tahun 1678 untuk komunitas Portugis yang bermukim di kawasan itu 14 tahun sebelumnya.
Gereja ini menjadi cagar budaya. Di sampingnya ada kuburan warga keturunan Portugis (Foto: Rina Atriana)
Untuk diketahui, sekitar tahun 1641 di Batavia, banyak sekali warga Portugis yang dijadikan budak oleh Belanda. Mereka dijanjikan kemerdekaan 12 tahun kemudian jika mereka mau mengganti namanya menjadi nama berbau Belanda.
"Terus mereka setuju dan mereka akhirnya dibebaskan. Sejak dibebaskan mereka, warga Portugis itu kemudian disebut Mardijkers atau orang-orang yang dimerdekakan," tuturnya.
Gereja Tugu dahulu dalam bingkai foto milik Arthur J Michiels (Foto: Rina Atriana)
Ia menjelaskan, sebanyak 25 kepala keluarga atau sekitar 125 orang memilih untuk meninggalkan Batavia dan hijrah ke Tugu tanpa diketahui Belanda. Tugu menjadi tempat persembunyian bangsa Portugis saat menghindari serangan Belanda di Batavia, sekarang Jakarta Kota. Saat itu, kawasan Tugu masih berupa hutan rimba dan rawa-rawa.
"Nama Tugu sendiri berasal dari kata Portuguese, yang dalam bahasa Indonesia disebut orang Portugal," ujar Arthur.
Setelah ada gereja, pusat kegiatan komunitas itu berada di gereja yang diperkirakan tertua di Jakarta itu. Tak hanya tempat ibadah, gereja itu juga berfungsi menjadi sekolah dan tempat berkesenian, terutama musik keroncong. Warga memainkan musik keroncong untuk mengiringi ibadah mereka di gereja.
"Keroncong dimainkan di Tugu untuk mengiringi ibadah di gereja, selain itu untuk hiburan dan untuk upacara pernikahan juga," ucap Arthur, musikus keroncong di kawasan cikal bakal keroncong di Tanah Air itu, kepada detikcom, beberapa waktu lalu.

Kelompok 'Krontjong Toegoe' yang digawangi Arthur J Michiels sedang pentas (Foto: Rina Atriana)
Arthur pun menuturkan bagaimana istilah keroncong kemudian dipakai untuk menamai aliran musik yang lahir di abad ke-17 itu. Rupanya kata keroncong terinspirasi dari bunyi alat musik prounga dan mancina. Prounga ataupun mancina merupakan sejenis ukulele yang jika dawainya dipetik seolah-olah mengeluarkan bunyi 'cong-cong-cong'. Akhirnya lama kelamaan muncul lah sebutan 'krontjong', atau yang dalam ejaan bahasa Indonesia sekarang menjadi keroncong.
Saat ini selain prounga dan macina, alat musik lain yang ada dalam keroncong di antaranya jitera, biola, dan rebana. Musik keroncong di Tugu banyak menggunakan bahasa Portugis dalam lagunya.
"Sekarang kalo ada acara di gereja sudah tidak memakai keroncong lagi, tapi biasa pake organ. Namun kita tetap melestarikan warisan keroncong ini agar generasi muda jangan sampai tidak tahu jika pernah ada musik keroncong di daerah ini," tuturnya.
Untuk diketahui, ada beberapa klan Portugis di Tugu, seperti klan Michiels, Abrahams, Andries dan Quiko. Beberapa klan seperti Michiels dan Quiko meneruskan kesenian keroncong dan menyebarkan musik itu pada generasi muda.
Kini selain kelompok Krontjong Toegoe yang didirikan tahun 1988 oleh Arend J Michiels, sesepuh Arthur, juga ada Cafrinho Tugu yang dijalankan klan Quiko, ada pula De Mardijkers dan KMM Cornelis.
Kelompok 'Cafrinho Tugu' yang dibesut klan Quiko sedang pentas di Jakarta Nite Festival (Foto: Nograhany WK)
(nwk/try)