Jaksa KPK menghadirkan dua saksi bernama Baharatmo Prawiro Utomo dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Aswendi Kamuli di PN Tipikor Jakarta, Selasa (18/6/2013). Keduanya diperiksa secara bersamaan.
Pada 6 Oktober 2011, Maharatmo menjual rumah miliknya di Jalan Cikajang Nomor 18 RT 006/06 Blok Q-2 Persil Nomor 160 Kelurahan Petogogan Kecamatan Kebayoran Baru Kota Jakarta Selatan Propinsi DKI. Rumah dijual kepada Erick Maliangkay.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sempat tarik ulur harga, akhirnya rumah tersebut terjual di angka Rp 6,35 miliar. Erick dua kali melakukan pembayaran pada 24 Oktober dan 2 November 2011.
Namun, ketika dicatat di akta jual beli, harga rumah jauh di bawah angka yang sebenarnya. Dari angka Rp 6,35 miliar, di dalam akta jual beli tertulis Rp 1,945 miliar saja.
"Saat itu jadinya Rp 1,9 miliar karena saya hanya mendapatkan blanko kosong. Erick yang (belakangan) mengisikan angka," kata Kamuli.
Kamuli sempat dicecar Ketua Majelis Hakim Suhartoyo mengenai tindakannya yang dengan mudahnya meneken blangko kosong.
Kamuli mengklaim saat itu sudah ada kesepakatan antara penjual dan pembeli tanah mengenai harga tanah. Sedangkan Maharatmo selaku penjual juga mau-mau saja meneken blangko kosong karena dia sudah 'merasa aman' lantaran uang Rp 6,3 miliar sudah dikantongi.
Namun kedua saksi sama sekali tidak mengetahui kaitan antara Dipta Anindita dengan Irjen Djoko yang duduk di kursi terdakwa. Keduanya juga belum pernah bertemu Dipta.
(fjr/ndr)