Hal ini disampaikan usai bertemu dengan Wahid Institute yang diwakili oleh direkturnya, Yenny Wahid. "Mudah-mudahan melalui kerja sama ini, paling tidak pemikiran apa yang bisa kita sumbangkan untuk negara ini, memberikan pemahamaman perbedaan keyakinan, agar tidak saling bunuh dan mengusir," kata Akil di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (29/5/2013).
Akil menyebutkan refleksi kebebasan berkeyakinan telah tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945. Sehingga perbedaan keyakinan menjadi hal yang diperbolehkan namun tidak diperkenankan munculnya sikap-sikap superioritas merusak perbedaan tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akil pun mencatat masyarakat kerap kali menilai, konflik agama yang muncul dan dikhawatirkan meluas, negara tidak pernah hadir.
"Kita khawatirnya sekarang lama-lama masuk kondisi formal negara," ujar Akil.
Pria kelahiran Kalimantan Barat ini mencontohkan diskriminasi yang mungkin terjadi jika konflik minoritas dan mayoritas tidak diselesaikan secara cepat. Ia juga mencontohkan MK sebagai lembaga konstitusi tidak pernah membedakan para pemohon, mulai dari anak punk hingga professor bisa mengajukan uji materi.
"Makanya di MK satu orang warga negara saja boleh menguji UU. Kalau kita lihat one person itu kan minoritas. Kalau mayoritas walau haknya terkurang, karena dia banyak jadi dia merasa nggak butuh," ujar Akil.
Akil berpendapat problem kebebasan beragama di Indonesia kurang diperhatikan, sebuah permasalahan di antara masalah lainnya yang tengah dihadapi bangsa Indonesia. Menurutnya, reformasi nilai di masyarakat Indonesia belum mengikuti pola demokrasi yang menganut kesetaraan.
"Pola demokrasi yang equal itu belum bisa diterima," tutup Akil.
(vid/asp)