Nyatanya, tak seorang pun dari 206 anggota pasukan gabungan yang akan diterjunkan ke belantara Irian Barat yang mengambil tawaran itu. Tak terkecuali Ben Mboi.
"Saya telah mencapai point of no return. Saya memilih probabilitas hidup yang 40 persen itu,” tulisnya dalam memoar Ben Mboi, Memoar Seorang Dokter, Prajurit, Pamong Praja halaman 146.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penunjukan Benny dilakukan langsung oleh Panglima Angkatan Darat Mayor Jenderal Ahmad Yani pada pertengahan Mei 1962. Sebab, kala itu, dari sederet perwira tinggi yang mengikuti rapat terbatas mengkaji pelaksanaan infiltrasi ke Irian, tak seorang pun yang merespons. Padahal, idealnya, jumlah pasukan sebanyak itu dipimpin oleh seorang perwira tinggi berpangkat jenderal.
“Ben, persiapkan pasukanmu dengan baik. Jangan lupa, kau bawa tim kesehatan,” ujar Yani kepada Benny, yang baru pulang mengikuti pendidikan Airborne di Fort Bragg, Amerika Serikat.
Benny melatih langsung pasukan yang akan diterjunkan di Merauke. Daerah itu dipilih bukan hanya alasan romantis seperti tertuang dalam lagu dari Sabang Sampai Merauke, tapi juga ada alasan taktis strategis di dalamnya.
Menurut Benny, seperti diurai dalam biografi Benny, Tragedi Seorang Loyalis, yang ditulis Julius Pour, kalau Merauke bisa diserbu, akan ada anak-istri Belanda yang bisa disandera TNI. Dengan begitu, konsentrasi Belanda di daerah lain akan terpecah dan pertahanan menjadi terbuka untuk dimasuki pasukan TNI lain. Menurut catatan, di Merauke ada sekitar 2.000 warga Belanda dan 200 anggota pasukan marinir yang melindunginya.
Penerjunan di malam yang pekat tak sepenuhnya berlangsung mulus. Sedikitnya delapan orang tewas karena masuk rawa, seorang gugur dibunuh penduduk, seorang lagi meninggal karena sakit, dan tujuh hilang. Sebaliknya, Benny dan pasukannya berhasil mengikat 500 marinir Belanda.
Secara keseluruhan, upaya mengembalikan wilayah Irian Barat dari Belanda itu dinamai Operasi Trikora di bawah komando langsung Presiden Sukarno. Untuk operasi militer itu, Bung Karno membeli banyak persenjataan dari Uni Soviet, di antaranya 24 pengebom Tu-16 yang amat ditakuti Barat serta serombongan pesawat tempur MiG-19 dan MiG-17. Posisi Tu-16 amat strategis karena bisa digunakan untuk mengebom kapal induk Karel Doorman―senjata utama Belanda yang telah lego jangkar di perairan Biak.
Total prajurit TNI-Polri yang diterjunkan ke Irian mencapai 1.419 orang. Dari jumlah itu, 216 orang gugur dan 296 lainnya ditangkap. Atas prestasinya, Benny mendapat kenaikan pangkat menjadi mayor dan anugerah Bintang Sakti yang disematkan langsung oleh Bung Karno di Istana Merdeka pada 19 Februari 1963. Ben Mboi pun menerima anugerah serupa.
Dalam sejarah Indonesia, hanya beberapa perwira yang mendapatkan penghargaan ini. Satu yang tak bisa dibaca di catatan resmi sejarah kita adalah anugerah Bintang Sakti kepada Mayor Untung, yang memimpin kelompok kecil pasukan yang bertempur di hutan belantara Kaimana.
Pada 1 Mei 1963, setelah melewati serangkaian perundingan nan alot, Belanda bersedia menyerahkan Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi, dan kemudian menjadi provisi ke-26. Meski begitu, perjuangan diplomatik dan militer masih berliku.
Sesuai dengan kesepakatan New York, masih harus digelar Penentuan Pendapat Rakyat pada akhir 1969 untuk mengetahui apakah rakyat Irian Barat tetap ingin berada dalam NKRI atau tidak. Para prajurit terbaik dari berbagai kesatuan pasca-Benny Moerdani masih harus bekerja keras merebut hati rakyat Papua. Di antara mereka tercatat nama Kapten Feisal Tanjung dan Letnan Satu Sintong Panjaitan.
Tulisan ini sudah dimuat di Harian Detik edisi Senin, 13 Mei 2013.
(nwk/nwk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini