"Fitra pernah menjadi korban bullying waktu kelas satu SMA," ungkap ibunda Doyok, Diana, kepada detikcom, sambil menunggu persidangan anaknya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jl Ampera Raya, Rabu (1/4/2013).
Diana yang berkerudung coklat tua menatap masa-masa ke belakang, saat anaknya kerap tidak mau berangkat sekolah. Usut punya usut, ternyata anaknya merasa terancam di sekolahnya dulu, SMA 70 Jakarta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mardi yang berbaju biru muda hanya sesekali menimpali pembicaraa. Sebagai orang tua mereka berdua baru tahu bahwa anaknya menjadi korban kenakalan usai anaknya terseret kasus tawuran yang menewaskan Alawy, siswa SMA 6.
Kedua orang yang berprofesi sebagai penjual barang seni ini menyatakan, tradisi tawuran sudah diturunkan dari kakak-kakak kelas Doyok yang sering 'menggarap' adik-adik kelasnya. Pihak sekolahpun dirasa mereka berdua terkesan tutup mata terhadap fenomena yang terjadi pada anak-anak didiknya.
"Banyangkan, dari tawuran sejak zaman dulu sampai 2012 masak hanya ditanggung di pundak anak saya saja. Ini tawuran sudah berlangsung lama," kata Diana mengutarakan keberatan terhadap sorotan media yang dirasa cenderung memojokkan putranya.
Sebelum dikenal menjadi anak yang suka tawuran, Diana dan Mardi menilai Doyok sebagai anak kecil yang lincah layaknya anak lelaki. Mulai menginjak Kelas 2 SMA, Doyok ketahuan menjadi sering ikut tawuran. Pada masa itu, mulai terbentuk semacam jiwa komando satu rasa antara Doyok dengan teman-temannya.
"Saya tahunya dia mulai tawuran saat Kelas 2 SMA. Fitra sempat bilang ke saya, 'Mah, emang kita tega ngeliat temen sendiri diinjak-injak orang' Dia peduli sama teman-temannya," jelas Diana.
(dnu/lh)