Din Minta RUU Ormas Distop atau Diintegrasikan dengan RUU Perkumpulan

Din Minta RUU Ormas Distop atau Diintegrasikan dengan RUU Perkumpulan

- detikNews
Jumat, 12 Apr 2013 15:23 WIB
Demo massa Muhammadiyah di DPR
Jakarta - Tekanan kepada RUU Ormas semakin kuat. Ketum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin meminta DPR menghentikan semua proses pembahasan RUU Ormas, tidak sekadar menunda hingga masa sidang berikutnya.

"Lebih baik DPR memprioritaskan pembahasan RUU tentang perkumpulan yang kami dengar sudah ada drafnya, naskah akademikanya di Kementerian Hukum dan HAM. Itu lebih relevan," ujar Din seusai membuka Seminar dan Lokakarya 'Paradigma Neurosains dalam Membedah Konsepsi Janin Utuh sampai Kelahiran bayi Sehat' oleh Badan Neurosains Muhammadiyah di Hotel Grand Cempaka, Jl Letjen Suprapto, Jakarta Pusat, Jumat (12/4/2013).

Menurut Din, RUU Ormas tidak ada urgensinya dibahas lebih dulu dibanding RUU tentang perkumpulan. "Memang urutannya harus ini dulu. Justru yang kita pertanyakan mengapa ini (RUU Ormas) diprioritaskan padahal tidak urgen? Sampai DPR awalnya ngotot. Karena tidak ada urgensinya sama sekali. Dan tidak ada hubungan dengan fungsi-fungsi utama DPR, pengawasan, kemudian penganggaran dan legislasi dalam bidang yang terkait," jelasnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Din berpandangan pasal-pasal tentang ormas lebih bagus diintegrasikan ke dalam pembahasan RUU tentang perkumpulan. "Atau kalau terpaksa, karena terlanjur ada Pansus, sudah ada anggaran, mungkin dirombak total substansinya dan positioningnya jangan ngurus eksistensi," ujarnya.

Din menuturkan panjang lebar mengapa organisasinya menolak RUU Ormas. Dia menuturkan, Pansus RUU sudah mendatangi ke PP MUhamadiyah, termasuk dari pemerintah, Kementerian Hukum HAM, Kemendagri dan Kementerian Sosial yang terkait dengan UU ini.

"Kami sudah sampaikan sikap dan pandangan Muhamadiyah. Maka apa yang mereka sampaikan bahwa usul-usul dalam pasal demi pasal itu sudah diubah. Tapi pada pandangan kami tidak hanya itu," katanya.

Din menuturkan, memang antara lain pasal yang awalnya krusial dan sangat terkait dengan eksistensi Muhammadiyah itu pasal peralihan, yang menyatakan bahwa jika Undang-Undang ini diberlakukan, maka Staatsblad 1870, produk hukum zaman kolonial, itu dibatalkan atau dicabut. Padahal inilah yang menjadi landasan hukum legal basis bagi perkumpulan Muhamadiyah dan banyak ormas lain yang lahir sebelum kemerdekaan.

"Jika itu dicabut, maka secara otomatis keberadaan Muhammadiyah juga batal demi hukum. Memang ada klausul untuk menyesuaikan diri dengan Undang-undang Baru, kita harus mendata, mengurus akte notasis, tapi nanti di akte notaris berdiri tahun 2013. Padahal kita ini sudah berdiri sudah satu abad lebih," ungkapnya.

Menurut Din, hal-hal ini tidak dipahami, tidak diketahui, tidak diantisipasi oleh DPR oleh pemerintah. Maka mereka mengubah itu. "Cuma saya katakan, yang lebih penting, sikap dasar Muhammadiyah itu adalah bahwa RUU Ormas ini bertentangan dengan pasal 28 UUD 45 yang menyatakan: Negara menjamin kebebasan berserikat, berkumpul dan berpendapat," bebernya.

Sementara RUU Ormas masuk kategori Undang-undang atau hukum administrasi dengan menganut sistem perizinan. Maka ada persyaratan, ada prosedur untuk mengurus izin dan ada kewenangan pemerintah untuk menerima atau menolak, ada pengawasan, ada kontrol dan akhirnya ada larangan dan sanksi sampai pada pembekuan dan pembubaran.

"Nah di sini perizinan dikaitkan dengan watak dan positioning dari RUU ini, yang pada hemat Muhamadiyah, ini akan memasung kebebasan beserikat dan berkumpul yang dijamin oleh UUD 45," ujarnya.

Din menyatakan, seyogyanya rakyat dan warga negara bebas mendirikan organisasi. Memang maksud pemerintah ingin mengatur, katanya ada ormas-ormas anarkis. Namun jalan keluarnya seharusnya bukan Undang-undang, tapi adalah law enforcement.

"Karena tidak mampu melakukan penegakan hukum, dicari alasan-alasan menghambat pendirian. Pendirian, eksistensi adalah hak asasi yang diberikan oleh negara kepada masyarakat," katanya.

Din mengungkapkan, boleh nanti pemerintah mengatur dampak yang mungkin muncul dari interaksi antar ormas, antara ormas dengan masyarakat luas yang tidak berorganisasi, ormas dengan pemerintah, tapi bukan Undang-undang yang mengatur eksistensi.

"Maka berdasarkan alasan itu dan antisipasi Muhammadiyah ingin membalik arah jarum jam sejarah secara otoritarianisme, mendorong kembalinya rezim otoriter, sementara kita sedang mengalami reformasi dan proses demokratisassi, nah Muhamadiyah ingin mengawal demokratisasi Indonesia ini. Dalam rangka konsolidasi demokrasi itulah kami tidak sepakat kalau ada Undang-Undang yang menghambat," demikian Din.

(nrl/nrl)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads