"Jangan sampai kencing di bawah pohon pun dipidana," kata pengamat hukum tata negara Dr Irmanputra Sidin saat berbincang dengan detikcom, Jumat (12/4/2013).
Irman menjelaskan, hukum pidana yang berlaku saat ini merupakan warisan rezim Eropa abad ke-17. Saat itu berkembang ideologi negara adalah segalanya. Jika warganya tidak sesuai dengan keinginan negara maka dicabutlah hak kebebasan warganya. Bahkan kalau perlu hak hidupnya juga diambil. Misalnya mengkritik raja atau ratu, dianggap sebagai pidana dan pelaku harus mendekam di penjara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sebagai contoh, anggaran 20 persen pendidikan kan tidak hanya supaya warganya pintar tetapi juga supaya warganya tidak jahat," beber Irman.
Dengan paradigma negara modern ini, maka sudah tidak relevan jika semua perilaku warga diatur. Negara cukup memidana perbuatan yang benar-benar kejahatan seperti pembunuhan, pemerkosaan, korupsi dan sebagainya.
Adapun perbuatan tercela lain cukup dengan memfungsikan peran pranata sosial yang ada seperti ormas, tokoh masyarakat, hukum adat dan sebagainya. Sebab hukum pidana adalah jalan terakhir yang dimiliki negara.
"Jika ada masyarakat yang tidak suka dengan pemerintahan, jangan dipidanakan dengan pasal penghinaan presiden karena masih banyak cara lain untuk membina masyarakat. Kembalikan ke rule etik dan moral," ujar Irman mencontohkan.
Irman meminta DPR tidak hanya mendebatkan perlu tidaknya sebuah pasal berlaku tetapi menyamakan persepsi filosofis hukum pidana dalam bernegara. Jika persepsi sudah sama, maka merumuskan dalam pasal menjadi mudah.
"Semakin banyak pasal yang tertuang dalam KUHP maka negara semakin malas mengurusi warganya. Salah sedikit, warga langsung dipidana," pungkas Irman.
(asp/nrl)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini