"Proses UN, sebelum, saat dan sesudahnya membuat orang tua, anak, guru bahkan kepala sekolah menjadi sangat tertekan karena UN menjadi penentu kelulusan," kata kata komisioner bidang pendidikan KPAI, Badriyah Fayumi, di kantornya, Jalan Teuku Umar, Jakarta, Kamis (11/4/2013)
Menurut KPAI, UN dianggap sebagai sebuah momok untuk psikologis anak yang akan mengikuti UN. Anak-anak ini jadi terkuras waktu dan tenaganya untuk mempersiapkan diri agar lulus UN.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tekanan itu tidak hanya dirasakan oleh anak dan orang tua tetapi juga dari pihak sekolah yang melaksanakan UN. Pihak sekolah akan merasa terbebani untuk meluluskan anak didiknya 100% sehingga terkadang menghalalkan berbagai cara.
"Di proses UN-nya, pihak sekolah juga tertekan karena kelulusan 100% seolah-olah menjadi citra sekolah di masyarakat. Selain itu juga ditargetkan oleh Kemendikbud dan kepala daerah," jelasnya.
KPAI menganggap implementasi UN saat ini sebagai 'kekerasan negara pada anak'. Selain itu, Badriyah juga menegaskan sikap KPAI tetap menyarankan reposisi UN yang tidak lagi menjadi tolak ukur kelulusan seorang siswa.
"Kita dari awal mengusulkan reposisi UN bukan sebagai penentu kelulusan. Tetapi harus berdasarkn multiple intelegency anak," kata Badriyah.
Dia melanjutkan, seharusnya sistem pendidikan di Indonesia juga memperhitungkan kecerdasan anak-anak di bidang lainnya dak tidak hanya terfokus pada mata pelajaran yang diujikan pada UN saja. Sistem inilah yang akan menjadi acuan kelulusan seorang siswa dengan memperhitungkan aspek secara keseluruhan tanpa menyamaratakan seperti yang terjadi saat ini.
"KPAI memandang, UN saat ini sarat dengan komersialisasi, dan diskriminasi antara pelajaran yang diujikan dan yang tidak diujikan dalam UN," pungkasnya.
(mad/mad)