Gonti bahkan juga telah mengadukan hal tersebut ke Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA). Namun pihak RS membantah tudingan tersebut dan menjelaskan telah melakukan tindakan medis sesuai prosedur.
Berikut penjelasan RS Harapan Bunda yang disampaikan melalui staf Humas dan Marketing, Dian Kristiana, dalam jumpa pers yang digelar di RS Harapan Bunda, Jalan Raya Bogor, Pasar Rebo, Jakarta Timur, Kamis (11/4/2013):
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
22 Februari 2013, pihak RS menyarankan agar bayi Edwin menjalani pemeriksaan EEG (electroencephalogram).
23 Februari 2013, pasien meminta pulang paksa dengan segala risiko yang telah dijelaskan.
26 Februari 2013, orangtua pasien datang lagi untuk mengontrol bayinya ke dokter spesialis anak di RS Harapan Bunda sambil memperlihatkan hasil EEG dari RSUD Pasar Rebo dan hasilnya normal. Bayi tidak dibawa pada saat kontrol EEG. Orangtua pasien mengeluh jari telunjuk kanan anaknya berwarna kebiru-biruan. Pasien dikonsulkan ke dokter spesialis bedah anak di RS Harapan Bunda. Tetapi orangtua pasien tidak melaksanakan konsul atau instruksi dari dokter spesialis anak.
2 Maret 2013, orangtua dan pasien datang dengan membawa surat komplain yang menyatakan bahwa tangan pasien membiru dan membengkak. Keluarga meminta pertanggungjawaban dari RS Harapan Bunda. Pihak RS menyarankan pasien untuk dirawat. Dan pasien dirawat di ruang perawatan anak RS Harapan Bunda.
"Satu minggu kemudian, keluarga pasien diberikan informasi bahwa pasien harus diamputasi ruas jari telunjuk anaknya. Keluarga pasien, ayahnya, menyetujui untuk dilakukan amputasi tapi dengan syarat asal jangan sampai telapak tangan diamputasi. Tapi pelaksanaan amputasi tidak langsung dilakukan oleh dokter bedah ortopedi dengan harapan diobservasi akan ada perbaikan di samping menunggu keadaan umumnya membaik," tutur Dian.
2 Maret sampai hari ini, pasien masih dirawat di RS Harapan Bunda dan kondisinya baik.
31 Maret 2013, dokter bedah ortopedi visit pukul 07.00 WIB ke bayi Edwin. Ditemukan ujung jari telunjuk kanan yang nekrosis atau jaringan mati sudah terlepas ada di dalam kasa. Dan ibu pasien dipanggil untuk diberi informasi oleh dokter tersebut. Lalu dokter tersebut memberikan antiseptik.
"10 April 2013, kami melihat di media televisi, internet, tentang berita tidak menyenangkan dan mencemarkan nama baik RS tanpa ada klarifikasi pihak orangtua kepada RS terlebih dahulu," sesal Dian.
"Kesimpulan, terjadi nekrosis atau jaringan mati dikarenakan orangtua tidak kooperatif sehingga penanganan terlambat," pungkasnya.
(rmd/nrl)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini