Ketua lembaga mayarakat dari Setara Institute Hendardi mengatakan, penangkapan 11 anggota Kopassus dianggap sebagai prestasi TNI dan bukti pernyataan TNI bahwa institusinya akan terbuka. Tetapi sejumlah keganjilan justru menunjukkan bahwa penangkapan ini merupakan suatu upaya sistematis TNI merebut kesempatan penyelidikan dan penyidikan secara cepat untuk tujuan tertentu.
"Seperti mengaburkan fakta, penyederhanaan kasus, dan memotong sejumlah dugaan bahwa pembunuhan tersebut terencana dan dugaan keterlibatan elite TNI. Termasuk hanya mengorbankan sejumlah orang," kata ketua Setara Institute, Hendardi dalam rilis yang diterima detikcom, Jumat (5/4/2013).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi publik tetap harus mencermati berbagai kemungkinan-kemungkinan skenario yang dirancang pihak TNI," jelasnya.
Menurutnya, pihak-pihak yang bertanggung jawab atas peristiwa ini tidak hanya 11 orang. Komandan Kopassus Grup Dua, Kandang Menjangan, Kartosuro, Pangdam IV/Diponegoro, juga harus dimintai pertanggungjawaban karena selain pernah berusaha menutupi dugaan keterlibatan anggotanya, dia juga sangat mungkin mengetahui rencana pembunuhan itu.
"Termasuk yang harus dimintai pertanggungjawaban juga adalah pimpinan Polres Sleman dan Polda DIY Yogyakarta yang lalai," ujarnya.
Pilihan TNI yang akan membawa 11 pelaku ke Peradilan Militer tetap tidak akan sepenuhnya memenuhi rasa keadilan publik, karena praktik peradilan militer disanksinya bisa terjadi yang tidak jujur, tidak transparan, dan akuntabel seperti dalam kasus yang melibatkan Tim Mawar. Untuk itu, Presiden SBY diharapkan mendorong penerbitan Perppu tentang Peradilan Militer yang memungkinkan anggota TNI bisa diperiksa di peradilan umum karena melakukan tindak pidana di luar dinas ketentaraan.
"Tanpa terobosan ini, hasil investigasi hanya akan antiklimaks tanpa memenuhi memenuhi rasa keadilan," tukasnya.
(slm/ndr)