Penghina Presiden Diancam 5 Tahun Bui dalam RUU KUHP Tidak Tepat

Penghina Presiden Diancam 5 Tahun Bui dalam RUU KUHP Tidak Tepat

- detikNews
Rabu, 03 Apr 2013 17:24 WIB
ilustrasi (ari saputra/detikcom)
Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan pasal penghinaan kepada presiden di KUHP 2006 silam. Namun pemerintah dalam RUU KUHP yang disodorkan ke DPR kembali menghidupkan kembali pasal tersebut.

"Pasal di RUU KUHP itu tidak tepat, potensial di judicial review kembali ke MK," kata Kepala Divisi Kajian Hukum dan Kebijakan Peradilan, Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Arsil, kepada detikcom, Rabu(9/3/2013).

Judicial review pertama yang dimaksud yaitu yang diketok pada 6 Desember 2006 dengan hasil pasal penghinaan presiden ini dibatalkan. Adapun dalam RUU KUHP Pasal 265 yang disodorkan ke DPR berbunyi setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 300 juta.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Usulan ini dinilai langkah mundur sebab semangat pasal itu telah dihapuskan oleh MK.

"Delik penghinaan terhadap presiden tidak bisa disamakan dengan penghinaan biasa. Pasal penghinaan biasa berakar pada upaya perlindungan terhadap hak atas kehormatan (pribadi), sementara untuk presiden perlindungan terhadap negara," lanjut Arsil.

Berdasarkan perbedaan mendasar tersebut, maka alasan menyamakan penghinaan terhadap presiden dan masyarakat biasa tak bisa disamakan. "Jadi argumentasi yang bilang pasal itu tetap ada agar pribadi presiden juga dilindungi, tidak tepat," pungkas Arsil.

Wamenkumham Denny Indrayana mengaku pasal tersebut masih bisa diperdebatkan. Walaupun pada 2006 lalu MK sudah membatalkan pasal tersebut, tetapi saat ini rumusan mengenai pasal yang diperlukan sudah berbeda.

"Sebenarnya yang diatur dalam pasal itu kan tindak pidana terhadap martabat, penghinaan, kenapa dengan orang biasa bisa dipidana tapi kenapa dengan presiden tidak? Mungkin itulah yang menjadi titik tolak kenapa pasal seperti ini dimunculkan lagi," kata Denny di kantornya, Selasa (2/4/2013) kemarin.

Dalam putusan MK 2006 disebutkan Indonesia sebagai suatu negara hukum yang demokratis, berbentuk republik, dan berkedaulatan rakyat, serta menjunjung hak asasi seperti yang diatur dalam UUD 1945. Pemberlakuan pasal penghinaan presiden itu berakibat mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, serta prinsip kepastian hukum.

"Sehingga RUU KUHP yang merupakan upaya pembaruan KUHP warisan kolonial juga harus tidak lagi memuat pasal-pasal yang isinya sama atau mirip dengan pasal 134, pasal 136 bis, dan pasal 137 KUHP," putus MK.


(asp/van)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads