"Memang tidak banyak pengacara Indonesia yang mendalami masalah ini. Tetapi kadang pemerintah kurang supportive karena kurang percaya sendiri kalau memakai lawyer Indonesia. Mungkin menganggap lawyer Indonesia akan ada kendala bahasa dan tidak punya pengalaman," kata guru besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Prof Dr Hikmahanto Juwana saat berbincang dengan detikcom, Selasa (2/4/2013).
Soal tarif super mahal ini terungkap dalam naskah pidato pengukuhan guru besar Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto, Prof Dr Ade Maman Suherman. Ade menyebut minimal USD 1 juta dikucurkan negara untuk beracara di forum WTO. Biaya ini akan membengkak jika menggunakan banyak saksi ahli seperti ahli pertanian minimal USD 250 ribu, spesialisasi ahli isu hukum berkisar USD 50 ribu sampai USD 100 ribu dan bidang analisis kerugian mencapai USD 500 ribu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mahalnya biaya ini karena tidak mudah memahami sengketa bisnis internasional. Dibutuhkan pemahaman yang tinggi dan rumit dan kemampuan bahasa hukum yang tidak mudah. Dalam membedah kasus, betapa kompleks dan memerlukan keahlian hukum dengan memahami bahasa asing dengan baik. Apalagi bahasa hukum dalam bahasa Inggris bukan hal yang sederhana dan mudah difahami.
"Fee mahal karena investasi yang dilakukan untuk orang bisa beracara di forum internasional juga mahal," beber Hikmahanto memberikan alasan.
Oleh sebab itu, Hikmahanto terus mendorong para mahasiswanya untuk bisa beracara di sengketa forum internasional. Sedikitnya telah diselenggarakan 10 kali peradilan semu internasional tingkat mahasiswa untuk menyiapkan lawyer lokal dengan cita rasa internasional itu.
"Sekarang banyak lawyer lokal yang hebat, tinggal pemerintah mau percaya atau tidak dengan kemampuan lokal," pungkas Hikmahanto.
(asp/ahy)