Ini Aturan Penyadapan di RUU KUHAP yang 'Kebiri' KPK

Ini Aturan Penyadapan di RUU KUHAP yang 'Kebiri' KPK

- detikNews
Jumat, 22 Mar 2013 11:07 WIB
Jakarta - KPK meminta Komisi III DPR menghentikan pembahasan revisi UU KUHP dan KUHAP. KPK keberatan wewenang melakukan penyadapan dikebiri. Seperti apa aturan penyadapan diatur RUU KUHAP?

Bab IV RUU KUHAP mengatur tentang penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, penyadapan, dan pemeriksaan surat. Ketentuan mengenai penyadapan diatur dalam bagian ke lima.

Ketentuan tentang penyadapan dimasukkan dalam pasal 83. Pasal 83 ayat (1) menjelaskan definisi penyadapan yakni "Penyadapan pembicaraan melalui telepon atau alat telekomunikasi yang lain dilarang, kecuali dilakukan terhadap pembicaraan yang terkait dengan tindak pidana serius atau diduga keras akan terjadi tindak pidana serius tersebut, yang tidak dapat diungkap jika tidak dilakukan penyadapan"

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sementara pasal 83 ayat (2) mengatur tindak pidana yang bisa dilakukan penyadapan yakni: tindak pidana terhadap keamanan negara, perampasan kemerdekaan/penculikan, pencurian dengan kekerasan, pemerasan, pengancaman, perdagangan orang, penyelundupan.

Penyadapan juga berkenan dilakukan terhadap kasus korupsi, pencucian uang, pemalsuan, keimigrasian, bahan peldan dan senjata api, terorisme, pelanggaran HAM berat, psikotropika dan narkotika, pemerkosaan, pembunuhan, penambangan tanpa izin, penangkapan ikan tanpa izin, dan pembalakan liar.

Pasal 83 ayat (3) mengatur penyadapan hanya bisa dilakukan dapat dilakukan oleh penyidik atas perintah tertulis atasan penyidik setempat setelah mendapat surat izin dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Ayat (4) mengatur Penuntut umum menghadap kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan bersama dengan penyidik dan menyampaikan permohonan tertulis untuk melakukan penyadapan kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan, dengan melampirkan pernyataan tertulis dari penyidik tentang alasan dilakukan penyadapan tersebut.

Ayat 5 mengatur "Hakim Pemeriksa Pendahuluan mengeluarkan penetapan izin untuk melakukan penyadapan setelah memeriksa permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (4). Sementara ayat (6) mengatur "Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diberikan untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.

Ayat (7) mengatur Hakim Pemeriksa Pendahuluan memberikan atau menolak memberikan izin penyadapan, Hakim Pemeriksa Pendahuluan harus mencantumkan alasan pemberian atau penolakan izin tersebut. Sementara ayat (8) mengatur pelaksanaan penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) harus dilaporkan kepada atasan penyidik dan Hakim Pemeriksa Pendahuluan.

Pada pasal 84 diatur dalam keadaan mendesak, penyidik dapat melakukan penyadapan tanpa surat izin dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan, dengan ketentuan wajib memberitahukan penyadapan tersebut kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan melalui penuntut umum (ayat 1).

"Keadaan mendesak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: bahaya maut atau ancaman luka fisik yang serius yang mendesak; permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap keamanan negara; dan/atau permufakatan jahat yang merupakan karakteristik tindak pidana terorganisasi," demikian bunyi pasal 84 ayat (2).

Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaporkan kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan paling lambat 2 (dua) hari terhitung sejak tanggal penyadapan dilakukan untuk mendapatkan persetujuan (ayat 3).

(van/ndr)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads