Dikutip dari berbagai sumber, termasuk dari buku 'Bunga Rampai: Sikap Hidup Drs RMP Sosrokartono' yang ditulis Moesseno Kartono, RMP Sosrokartono ini menguasai 26 bahasa asing dan 10 bahasa daerah Indonesia. Sosrokartono, yang kelahiran 10 April 1877 itu memang dikenal cerdas. Sebagai anak bangsawan yang juga Bupati Jepara RM Adipati Ario Sosroningrat, Sosrokartono mengenyam pendidikan setara orang-orang Belanda yang ada di Indonesia saat itu.
Menempuh SD di Eropesche Lagere School di Jepara, kemudian melanjutkan ke sekolah menengah di Hogere Burgerschool di Semarang, dan melanjutkan pendidikan ke Belanda pada 1898, menjadi mahasiswa pertama yang melanjutkan pendidikannya ke Belanda. Mulanya Sosrokartono masuk ke sekolah teknik di Leiden, kemudian berpindah ke jurusan bahasa dan kesusastraan Timur.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketika bertugas dalam medan perang, guna memperlancar tugasnya, Sosrokartono diberi pangkat mayor oleh pihak Sekutu. Masterpiece-nya sebagai wartawan PDI I adalah memuat hasil perundingan antara Jerman yang kalah perang dengan Prancis, pihak yang menang.
Perundingan itu berlangsung secara rahasia di sebuah gerbong kereta api di hutan Campienne, Prancis, dan dijaga sangat ketat. Nama penulis berita itu tak disebutkan, selain kode tiga bintang, kode
samaran Sosrokartono.
Setelah PD I selesai, Sosrokartono kembali menjadi penterjemah di Wina, kemudian ahli bahasa pada Kedubes Prancis di Den Haag, dan penerjemah di kantor Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di Jenewa.
Profesor Dr JHC Kern, dosen pembimbingnya di Universitas Leiden, pernah mengundang Sosrokartono untuk menjadi pembicara dalam Kongres Bahasa dan Sastra Belanda ke-25 di Gent, Belgia, pada September 1899. Dalam kongres yang membicarakan masalah bahasa dan sastra Belanda di pelbagai negara itu, Sosrokartono mempersoalkan hak-hak kaum pribumi di Hindia Belanda yang tak dipenuhi pemerintah jajahan.
Dalam pidatonya yang berjudul Het Nederlandsch in Indie (Bahasa Belanda di Indonesia), Sosrokartono antara lain mengungkapkan: โDengan tegas saya menyatakan diri saya sebagai musuh dari siapa pun yang akan membikin kita (Hindia Belanda) menjadi bangsa Eropa atau setengah Eropa dan akan menginjak-injak tradisi serta adat kebiasaan kita yang luhur lagi suci. Selama matahari dan rembulan bersinar, mereka akan saya tantang!โ
Kini, Sosrokartono, seperti halnya sang adik, RA Kartini, juga dikenal sebagai pejuang pendidikan. Sosrokartono wafat 8 Februari 1952, tanpa meninggalkan istri dan anak. Dia dikebumikan di makam Sedo Mukti, Desa Kaliputu, Kudus, Jawa Tengah di samping makam kedua orang tuanya Nyai Ngasirah dan RMA Sosroningrat.
Di kanan-kiri, terdapat kata-kata atau nasihat dari Sosrokartono dalam bahasa Jawa, yakni:
Sugih tanpa banda, digdaya tanpa aji (Kaya tanpa harta, sakti tanpa jimat)
Trimah mawi pasrah (pasrah terhadap keadaan yang telah terjadi),
Suwung pamrih tebih ajrih (jika tak berniat jahat, tidak perlu takut),
Langgeng tan ana susah tan ana bungah (tetap tenang, tidak kenal duka maupun suka),
Anteng manteng sugeng jeneng (diam sungguh-sungguh, maka akan selamat sentosa).
(nwk/nrl)