"Kehadiran hakim komisaris adalah suatu keharusan mengingat keberadaannya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses peradilan terhadap terdakwa di mana hakim komisaris dapat melakukan pengawasan serta perlindungan terhadap hak asasi manusia, dari penyidikan, penuntutan dan hakim dalam proses peradilan," kata praktisi hukum Dr Lilik Mulyadi kepada detikcom, Kamis (14/3/2013).
Hakim komisaris ini menyeruak seiring masuknya Rancangan KUHAP dari pemerintah ke DPR yang diserahkan pada Rabu (6/3) lalu. Hakim komisaris yang disebut dalam rancangan tersebut sebagai 'hakim pemeriksa pendahulu' dinilai penting guna mengawasi apakah proses penegakan hukum sudah sesuai atau tidak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara (Waka PN Jakut) ini, Lilik menilai dalam KUHAP --khususnya di tataran kebijakan legislasi-- terdapat ketidaksinkronan, kekurangefektifan dan kelemahan eksistensi praperadilan karena hanya mempertimbangkan aspek formalitas saja.
"Hakim komisaris yang dikenal di Belanda, Perancis, Italia, Jerman, Amerika Serikat, efektif dalam melakukan proses peradilan pidana seperti rekayasa kasus. Sehingga hakim komisaris diperlukan mutlak adanya pengawasan terhadap proses sistem peradilan pidana," tandas Lilik.
Namun semangat ini bisa jadi akan menemui banyak kendala. Menurut salah seorang hakim yang enggan disebut namanya, konsep hakim komisaris malah bisa memicu hakim ikut menjadi bagian dari mafia perkara. Adapun bagi hakim golongan putih, maka harus siap-siap memakai rompi anti peluru 24 jam.
"Hakim juga akan menjadi bulan-bulanan pihak Tersangka atau saksi pelapor jika satu pihak minta ditahan dan pihak satunya meminta agar laporannya sampai ke pengadilan tetapi Tersangka main mata dengan hakim komisaris. Ujung-ujungnya, hakim komisaris harus pakai rompi anti peluru apalagi jika di daerah rawan dan keras," bisiknya.
Adapun Ito Sumardi tegas menolak karena geografis Indonesia yang tidak memungkinkan. Menurut Ito, dengan melibatkan hakim komisaris dalam penentuan perkara layak tidaknya masuk pengadilan, akan bertentangan dengan prisip kerja kepolisian dalam melakukan proses hukum yang murah, cepat, dan adil.
"Bagaimana bisa murah kalau menangkap tersangka harus dihadapkan dulu ke hadapan hakim komisaris, pasti tidak cepat dan murah. Apa pemerintah sudah menyiapkan biaya untuk itu? Belum lagi perkara itu belum tentu diterima oleh hakim berdasarkan keyakinannya. Pertimbangan hakim dan penyidik kan berbeda," kata Ito.
(asp/try)