"Solusinya bisa menjadi bagian dari feeder (angkot-angkot lokal) atau turut bersama-sama menjadi operator di APTB itu sebagai konsorsium," kata Ketua Advokasi Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Darmaningtyas.
Hal itu dikatakan Darmaningtyas ketika ditanya mengenai kasus-kasus feeder busway di perbatasan kota Jakarta usai peluncuran buku tentang Blue Bird berjudul 'Sang Burung Biru' yang ditulis Alberthiene Endah dan diskusi tentang 'Menyiasati Ganjil-Genap di DKI Jakarta' di toko buku Kinokuniya, Plasa Senayan lantai 5, Rabu (13/3/2013).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Solusi lainnya, menurut Darmaningtyas, adalah dengan membina sopir-sopir angkot menjadi sopir feeder busway.
"Bisa. Tapi harus ada kejelasan. Karena sekarang itu, sopir-sopir busway nasibnya nggak tahu, sangat tergantung apakah perusahaan tempat mereka bekerja menang tender lagi atau tidak," imbuh dia.
Persoalan transportasi antarwilayah di Jakarta, lanjut dia, memang sangat rumit. Apalagi sekarang ada peraturan operator busway hanya selama 7 tahun.
"Walaupun bisa tender lagi, belum tentu bisa menang. Si pemenang tender belum tentu mengajak sopir-sopir ini. Ke depannya memang tidak jelas kalau jadi sopir busway. Kalau sopir angkot kan selama pemiliknya masih senang, masih bisa terus bekerja di situ," kritik Darmaningtyas.
Sementara Kepala Dinas Perhubungan DKI Udar Pristono mengatakan pihaknya bisa membina bila angkot yang terbagi dalam beberapa pemilik itu memiliki manajemen 1 atap dan 1 tempat untuk memarkir angkotnya.
"Pembinaan kita seluruhnya harus pakai pool. Perusahaan angkutan umum harus berbentuk badan usaha dan harus dengan depo atau pool. Pembinaan tetap tapi manajemennya harus berubah. Dari perorangan jadi badan usaha, mereka harus," jelas Pristono.
(nwk/rmd)