Menurut Ito, dengan melibatkan hakim komisaris dalam penentuan perkara layak tidaknya masuk pengadilan, akan bertentangan dengan prisip kerja kepolisian dalam melakukan proses hukum yang murah, cepat, dan adil.
"Bagaimana bisa murah kalau menangkap tersangka harus dihadapkan dulu ke hadapan hakim komisaris, pasti tidak cepat dan murah. Apa pemerintah sudah menyiapkan biaya untuk itu? Belum lagi perkara itu belum tentu diterima oleh hakim berdasarkan keyakinannya. Pertimbangan hakim dan penyidik kan berbeda," kata Ito saat berbincang dengan detikcom, Rabu (13/3/2013).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berbeda bila penerapan proses hukum seperti itu dilakukan di sebuah negara seperti Perancis dan Belanda. Di negara itu, dari satu titik ke titik lainnya dapat dijangkau dengan cepat sehingga proses hukum dapat dilakukan dengan efisien.
Perancis sendiri saat ini sebenarnya tengah membekukan pola hakim komisaris, sementara di Belanda proses hukum seperti ini sudah dihapus.
"Harus disesuaikan dengan budaya kita. Enggak bisa begitu saja mengadopsi negara lain. Kok bisa mengadopsi hakim komisaris dengan kita mesti naek getek, kan tidak rasional," tukas jenderal bintang tiga purnawirawan kepolisian yang sekarang aktif mengajar ilmu hukum di UI ini.
"Bayangkan saja kalau nangkap orang di Indragiri Hulu, dia harus bawa ke Pekanbaru yang begitu jauh. Sementara penyidik cuma memiliki waktu 1x24 jam untuk menahan orang itu, bila lebih dari itu maka harus dilepas," kata Ito mencontohkan.
Selain itu, penerapan hakim komisaris dalam peran penanganan suatu perkara tentu membutuhkan waktu yang tidak cepat. Hakim-hakim ini nantinya sederajat dengan ketua pengadilan negeri dan ditempatkan seperti pengadilan negeri di kabupaten dan kota.
Pemerintah juga mau tidak mau harus menyiapkan sarana prasarana penunjang kerja hakim komisaris, seperti kantor dan juga staf-staf yang nanti membantu peran hakim komisaris yang hanya menentukan orang tersebut layak ditahan atau tidak.
"Tentunya ini akan menjadi sangat mahal," ujar Ito yang kini bekerja menjadi legal advisor beberapa perusahaan.
Guna memaksimalkan proses hukum, pemerintah sedianya menguatkan peran praperadailan dan PTUN.
"Kalau ada yang tidak puas dengan proses penegakan hukum, silakan praperadilan. Kalau solusi seperti itu harus dijawab dengan perombakan sistem yaitu dengan membentuk hakim komisaris, tentu akan mubazir," ujarnya.
Sebelumnya, dalam draft rancangan KUHAP disebutkan, tujuan dibentuknya Hakim Komisaris adalah mengimbangi jaksa yang terlalu dominan sebagai master of procedure atau dominus litis. Diharapkan, Hakim Komisaris dapat menjaring perkara besar dan menarik perhatian masyarakat yang akan diajukan jaksa ke pengadilan.
"Di samping hakim sidang (trial judge), maka Hakim Komisaris dapat menghindari penuntutan yang sewenang-wenang karena alasan pribadi atau balas dendam," tegas penjelasan Naskah Akademik yang diserahkan dari pemerintah ke DPR pada (6/3).
(ahy/asp)