Kontras Rilis Bisnis TNI di Tiga Tempat
Selasa, 05 Okt 2004 17:35 WIB
Jakarta - Polri dan TNI resmi berpisah pada tahun 2000. Tapi pemisahan di lapangan tidaklah mudah. Pada kenyataannya terjadi perbenturan antara keinginan untuk menjadi alat negara yang profesional dengan semangat dan kepentingan di luar mandat.Demikian hasil penelitian Kontras yang dilakukan tiga tempat, yaitu di Bojonegoro, Boven Digoel (Papua) dan Poso. Penelitian Kontras dirilis di kantornya di Jl.Mendut 3, Jakarta Pusat, Selasa (5/10/2004).Riset pertama dii Bojonegoro. Di kota itu, penyimpangan ditampakkan dengan munculnya peran penjaga, makelar, serta penekan masyarakat yang dilakukan TNI-Polri untuk menjaga kepentingan pertambangan minyak dan perusahan-perusahannya. Bagi perwira-perwira militer baik di markas besar maupun koter setempat, minyak di Bojonegoro adalah sumber baru bisnis informal mereka.Di Boven Digoel, militer ditempatkan untuk kepentingan operasi perbatasan dan penumpasan gerakan separatis TPN-OPM. Sayangnya, perspektif demikian justru mengakibatkan cara pandang diskriminatif terhadap masyarakat setempat. "Masyarakat dipandang sebagai sumber masalah, baik berkaitan dengan dukungan terhadap gerakan separatis maupun kritik mereka terhadap kebijakan pemerintah dan dampak eksploitasi terhadap lingkungan mereka," tulis Kontras.Di Poso, militer menjadi pihak yang mendukung eksploitasi kayu hitam. Keterlibatan ini bisa didapati dalam hampir semua proses bisnis kayu hitam di Sulteng. Keterlibatan aparat militer yang sejak berlaku sejak 1960-an didominasi oleh bisnis pengamanan dan eksploitasi itu sendiri.PT Gulat bisa dikatakan sebagai contoh bisnis non-institusional ABRI, yang merupakan sebuah badan usaha di luar struktur kemiliteran di Indonesia. Tetapi pendiri dan pemiliknya, yaitu Abdul Muin Pandewang merupakan salah seorang pejabat di Kodam Hasanuddin (sekarang Wirabuana). Pandewang dikenal dekat dengan pejabat sipil maupun militer di Jakarta.Berkaitan dengan penelitian ini, posisi militer ada di setiap level bisnis kayu hitam di Poso dan Sulteng secara umum, dari mulai proses pencarian kayu hitam yang dilakukan masyarakat dan penempatan hasil penebangan, militer sudah ada dan terlibat.Ketika kayu hitam itu dibawa dari tempat penyimpanan ke Palu atau ke tempat pengolahan atau tempat pelabuhan pengiriman, militer terlibat dalam bentuk pemberbentian atas nama pemeriksaan terhadap kendaraan-kendaraan. Begitu juga dalam proses pengiriman kayu melalui jalur laut ke Malaysia.Sebelum konflik, hampir di semua daerah di Sulteng, keterlibatan militer dalam bentuk pengamanan terhadap pelaku bisnis kayu hitam dan ancaman penghukuman. Sedangkan khusus di Poso, tepatnya di Tokorondo, bisnis korporasi dikelola oleh individu militer.Di masa konflik, TNI dan polisi juga melakukan bisnis lainnya berupa bisnis pengamanan individu-individu ke daerah tertentu untuk kepentingan tertentu. Maka bisnis pengamanan adalah bisnis yang merupakan dampak langsung keberadaan perusahaan-perusahaan baik di Bojonegoro, Boven Digoel, serta Poso."Aparat militer dan polisi menjalankan fungsi ini sebagai pekerjaan sampingan yang diprioritaskan. Selain itu juga muncul bisnis-bisnis ilegal lainnya sebagai sampingan dari penugasan penempatan pasukan," kata Kontras.Menurut Kontras, awalnya bisnis sangat tergantung pada keahlian dan kecenderungan seorang anggota militer dalam melihat peluang bisnis seperti bisnis kulit buaya di wilayah Asiki, Papua dan penjualan bulu burung Cendrawasih maupun burung indah itu dan penjualan minuman keras. Lama-kelamaan bisnis ini menjadi mapan dan menjadi proyek warisan yang diwariskan kepada pasukan-pasukan yang baru datang.Berdasarkan penelitiannya, Kontras merekomendasikan agar TNI dan Polri harus diletakkan pada posisi yang sebenarnya sebagai lembaga penjaga pertahanan dan keamanan.Juga, pemerintah harus melakukan peninjauan ulang untuk melihat sejauh mana efektivitas penempatan militer, terutama saat ini di Poso yang dalam proses healing massal dan rekonsiliasi akibat konflik komunal yang terjadi di Poso beberapa tahun terakhir."Hal ini bertujuan agar penugasan terhadap kepolisian dan TNI di Poso bukan justru untuk melakukan teror dan pemiskinan di Poso," demikian Kontras.
(nrl/)